Kamis, 14 Februari 2013

Penghapus untuk Valentine day



Dimulai dari pertama kali aku melihatnya di sekitar rerumputan siang itu, dia begitu tenang bersama peliharaanya. Saat itu kesendirianku terusik saat goresan lukisanku mengores beberapa lekukan wajah seorang sahabat yang sering bernyanyi di gereja. Siang itu begitu terik, bunga dan hamparan rumput hijauh bertaburan di sekelilingku, rasanya begitu indah, sayang kalau aku Cuma menatap lukisan ini untuk sebuah arti persahabatan.

Dia dan peliharaanya, seekor anak anjing bernama hakico, itu yang pertama aku tau darinya, sinar mentari membuat wajahnya begitu bersinar memancarkan kebahgiaan yang tersirat di antara kamu.

Aku ingin melukisnya tampa mengunakan penghapus apa bisa?

Terus melukis walau salah namun di tutupi dengan kebenaran goresan pensil. Aku terus bergumul dengan apa harus aku hapus jika terjadi kesalahan dalam lukisanku. Wajahnya begitu indah untuk di buat kesalahan, walau kertas ini terlalu banyak namun bisakah aku melukis tampah penghapus?

Umurku 8 tahun waktu mengikuti lomba melukis di taman Gubernur, itulah pertama kalinya aku duduk di rumput dan mulai mengeluarkan semua peralatanku tampa lupa mengeluarkan penghapus. Sekalipun lukisanku berjudul pegunungan tampa melakukan kesalahan karena “ku hapus dengan penghapus begitu rapihnya. Tapi tetap saja aku mendapat juara 2. Dan itu membuat keinginan untuk melukis lagi hilang..

Melukis adalah keingianku, tak ada seorangpun yang dapat melukis selain aku dan kesendirianku. Begitulah adanya. Aku selalu melukis dengan sempurna tampa melakukan kesalahan sama seperti waktu mengikuti lomba di SMP dan SMA namun kesempurnaanku slalu mendapatkan juara harapan. Sekalipun kesalahan itu sudah ku hapus dengan penghapus. Namun tetap saja itu tak ada artinya..

Bisakah aku melukis tampa penghapus? Bisakah aku fokus dan menatap wajahnya mengamati setiap lekukan wajahnya, matanya, bibirnya, dan bentuk telinganya hidunganya begitu indah. Aku mengaguminya bagai aku merawat lukisanku. Aku selalu hadir setiap dia menikmati sore itu dengan peliharaannya.

Apakah bisa aku memintanya untuk aku lukis dengan tampa penghapus? Apakah aku bisa berbicara di saat aku bersamanya, atau hanya diam dan tak bisa berbicara sepata- kata pun, ini kah yang mananya kertas putih bertemu dengan pensil saat suasanan sangat romantis, tak pernah berbicara namun selalu bersama dan menghasilkan kisah dalam bentuk lukisan. Tapih apaka aku bisa melukis tampa penghapus?

Tampat ini menjadi saksi goresanku akan sebuah arti kehidupan baru di kota yang terasa asing buatku, aku Cuma menikmati hangatnya matahari duduk dan melihat lepas ke ara laut, begitu cantik, aku pernah berharap ada yang menemaniku bermain di tepi pantai walau hanya 15 menit tapi buat aku itu sangat berarti apa bisa aku berjalan tampa harus memikirkan masa lalu, sama halnya dengan aku melukis tampa melakukan kesalahan dan terus menghapus dan meghapus. Atau membiarkan kesalahan dan belajar untuk menjadikan kesalahan itu suatu karya yang indah. Dan membuat dia tersenyum saat melihat kesalahan itu. Begitukah ceritanya aku membuatnya tersenyumnya., tapi aku sekarang begitu jauh bermil mil dari senyumnya, apa bisa aku melukisnya tampa panghapus?

Aku berharap saat musim hujan berhenti pelangi muncul di langit biru, dia pun datang menghampiriku dan berbincang sesuatu yang mungkin ingin dia ceritakan, mungkin tentang nabi Nuh atau kisah kelahiran Tuhan Yesus. Mungkin, atau dia mulai memandangiku dan beranya “…. Kamu tau aku merindukanmu..” kalimat yang aku ingin dengar dari bibirnya namun itu mungkin suatu harapan angin yang mungkin jarang terjadi di duniaku. Selain lukisanku yang selalu di rindukan orang orang tak ada yang pernah ada yang merindukan si pelukis.

Apakah aku bisa melukis tampa penghapus? Pertanyaan yang ingin aku temukan jawabanya, bisakah aku atau tidak bisakah aku. Mengoreskan pensil di kertas dan belajar untuk menahan segala asa agar tak melakukan kesalahan. Seperti seorang anak yang pernah aku jumpai di gereja beberapa tahun lalu, dia selalu berlati sebuah music klasik, hanya untuk seseorang yang dia suka, setiap kali jari jarinya menekan tus piano di saat itu kesalahan selalau terjadi, dan terus terulang sehinga sore pun datang dan berhasil.

Samahalnya dengan melukis, aku tidak pernah berbicara “.. aku mau melukismu..” sekalipun aku bisa mengatakanya, mungkin itu akan menjadi beban. Aku bisa melukis saat dia pergi, dan semua kebisingan itu hilang dari hadapanku dan yang Cuma tertingal Cuma aku dan bayanganya.

Walau itu Cuma lukisan misterius namun aku belajar untuk tak megunakan penghapus.. aku takut hasilnya tak bagus, karena aku selalu berharap lukisanku tak seorangpun tau, bagus atau pun jeleknya. Aku Cuma bisa mengaguminya lewat lukisanku, dan selalu berharap tak ada penghapus lagi dalam lembaran lembara lukisanku..

Bisakah aku melukismu? Bisakah aku melukis hatimu? Dan bisakah aku melukismu tampa melakukan kesalahan ?

Bisakah aku melukismu tampa penghapus agar kesalahan atau kebenaran itu bisa menjadi pelajaran untukku dana menatapmu lebih dalam lagi.

Bisakah aku bertemu kamu lagi dan cuma berkata .”.. bisakah aku melukismu ?..”
Bisaka aku..
Bisakah aku.. walau Cuma sedetik aja melihat senyummu.   

di hari ini aku cuma mau bilang. " Fin mau kah jadi seseorang buat hariku..."