Kamis, 30 Mei 2013

kamu penyesalan TERBESARKU


Lembayung senja yang indah merona, sekarang sudah mulai tergantikan petang yang sebentar lagi berubah gelap gulita. Bunyi jangkrik yang mulai terdengar, serta suhu yang mulai berubah dingin, menemaniku dalam kejenuhan menunggu seseorang yang sangat aku cinta. Kekasih, mungkin kata itulah yang tepat untuknya. Dia adalah seseorang yang amat aku cintai, dia selalu ada dalam tangisan dan tawaku, serta dia selalu memberikan pundaknya untukku bersandar dikala duka menerpaku. Sudah hampir 2 jam aku menunggunya. Rasa jenuh semakin membelengguku, mata ini seakan ingin menutup dengan sendirinya pertanda aku dalam keadaan kantuk. Ingin sekali aku tidur dengan selimut tebal yang menghangatkanku. Dingin ini semakin merasuk tubuhku, membuatku merindukan pelukannya yang sudah lama tak kurasakan.

“ Jep?” terdengar seseorang memanggilku, aku menoleh secara refleks, karena Jep adalah namaku. Saat ku berbalik arah, ternyata seseorang yang aku tunggu telah datang, dan sekarang tepat berada di depanku. Tanpa tunggu lama, aku langsung memeluknya.

“Aku kangen sama kamu,” Ungkapku jujur, karena memang aku sangat merindukannya. Sudah 2 minggu aku tak berjumpa dengan dia. Rasa rindu yang dalam ini, sudah terobati dengan pelukan hangat yang aku rasakan sekarang.

Setelah saling menghilangkan rasa rindu. Dia mengajakku pergi kesebuah cafe untuk sekedar minum kopi dan bercerita tentang pengalamannya kemarin. Jujur, selama dia bercerita, aku tak fokus mendengarnya, namun aku fokus memandangi wajahnya yang begitu sempurna. Sungguh aku adalah pria paling beruntung yang dapat memilikinya.

“Kita pulang yuk? Udah malam, besok kamu sekolah kan?” ajaknya setelah cukup lama hanya diam saja, mungkin dia merasa bosan. Aku sangat menyukai sifatnya yang begitu pengertian, dia begitu mengerti akan statusku sebagai pelajar. Ya, mungkin karena usia dia jauh lebih tua dariku, itulah yang membuat sifat itu muncul. Mungkin usia adalah sebuah perbedaan, tapi perbedaan itu tak pernah menjadi masalah atau penghalang bagiku untuk mencintainya. Terlebih itulah yang membuatku semakin mencintainya. Kedewasaannyalah yang menguatkan cintaku padanya.

Di dalam mobil, dia tak berbicara satu katapun. Dia hanya fokus menyetir, mungkin hanya sesekali dia menengok kearahku dengan menebarkan senyumannya yang benar-benar membuatku meleleh bagaikan lilin yang sudah habis terbakar api. Akupun mengimbanginya dengan berdiam diri pula, serta membalas senyumnya saat dia menoleh kearahku. Sungguh aku sangat bahagia, sepertinya aku orang yang paling bahagia di dunia ini. Kebahagiaan ini seakan sulit aku ungkapkan.

Akhirnya sampai juga di rumahku,
“Aku turun ya? Aku benar-benar senang bertemu kamu hari ini,” Kata-kata yang terlontar dari mulutku tak dijawab olehnya, dia hanya tersenyum. Dan setelah itu, dia mencium keningku. Aku terpejam dan tak menyangka, berpikir antara ini nyata atau sekedar mimpi. Aku tersenyum padanya setelah ciuman itu berhenti.

“I..i lo.. Love yy .. you,” hanya kata itu yang bisa aku keluarkan dari mulutku dengan terbata-bata. Aku benar-benar bahagia, tak peduli aku tadi bosan menunggunya. Rasa itu sudah terbayar dengan rasa senang yang aku rasakan sekarang.

Aku turun dari mobilnya, dan melambaikan tanganku dengan arti sebuah tanda perpisahan. Diapun membalasnya dengan melakukan hal yang sama denganku dan dengan tambahan senyuman yang membuatku terpesona. Setelah mobilnya pergi, akupun langsung bergegas masuk kerumah. Aku senyum-senyum sendiri saat berjalan, membayangkan apa yang aku rasakan seharian tadi, bahagia. Tapi, setelah aku melewati kamar ibuku, aku berhenti sejenak. Aku seakan mendengar suara perempuan yang tak asing lagi, namun hingga sekarang aku belum tahu suara siapa itu. Suara itu berasal dari kamar ibuku. Dalam hati aku bertanya pada diriku sendiri, siapa dia?

Aku adalah anak korban broken home, orang tuaku bercerai. Tapi dulu Ayahku masih tetap tinggal disini, karena kami penganut Liberal. Mungkin baru 6 hari Ayahku pergi dari rumah terkutuk ini, tanpa aku mengetahui alasannya kenapa. Aku sangat membenci ibuku, karena penghasilannya lebih besar, dia seakan menganggap rendah Ayah. Maka dari itu, aku lebih menyayangi ayahku. Ingin sekali aku tinggal bersamanya, tapi apa boleh buat, hak asuh ada ditangan ibuku, aku hanya bisa mengikuti keputusan tanpa bisa memutuskannya sendiri.

“Kring… Kringg,” sontak Aku tersadar dalam lamunanku mendengar suara itu. Ponselku berdering sangat keras. Aku langsung berlari ke dalam kamar, aku takut ibuku keluar dan memergokiku yang sedang mengupingnya. Saat aku lihat, ada sebuah pesan singkat dari kontak yang bernama “Lovely Yohanna”, aku tersenyum, itu adalah nama kekasihku yang ku tulis dalam ponsel ini. Pesan singkat itu berisi kata, “Jangan tidur malam-malam ya, Love you.” Aku langsung bergegas ke atas ranjang untuk segera bertemu dengan mimpi-mimpiku, tanpa membalas pesan singkat tadi. Aku yakin tak masalah jika aku tidak membalasnya, pasti dia berpikir kalau aku sudah tidur.

Pagi sekitar pukul 6.45, aku terbangun mendengar seseorang berkata dengan nada berteriak atau mungkin lebih tepatnya memaki, “Bisa masak gak sih? Saya gaji kamu mahal, tapi masakanmu gak jauh seperti sampah,” aku yakin itu ibu, karena tidak ada perempuan lain yang tinggal disini, karena jika Bibi, tidak mungkin dia melakukan itu. Tanpa tunggu lama, aku turun dari kamarku yang berada dilantai 2 untuk melihat suasana di bawah yang terdengar begitu bising.

“Dasar perempuan gak tahu malu, merasa paling benar dan paling berkuasa,” ucapku dalam hati memaki ibu. Aku begitu membencinya, segala sesuatu tentangnya, tak ada yang aku suka satupun. Takut emosiku naik melihat kelakuannya, aku langsung pergi ke kamar mandi, karena aku akan berangkat ke sekolah pagi ini.

Selesai berseragam, tanpa sarapan, aku berangkat sekolah menggunakan kendaraan pribadi yang telah ibu sediakan beserta supirnya. Kehidupanku bisa dibilang mewah, tapi aku tak pernah merasa bahagia akan ini. Harta bagaikan sampah yang tidak berguna, karena aku begitu merasakan haus akan kasih sayang, bukan haus akan materi. Sebenarnya, jarak antara rumah dan sekolahku tidak jauh, 10-15 menit ditempuh dengan berjalan kakipun bukan sesuatu yang tidak mungkin, padahal aku menyukai itu. Aku menyukai segala sesuatu yang sederhana, karena bagiku kesederhanaan bisa melambangkan ketabahan seseorang.

Disekolah, aku tak punya banyak teman, hanya ada Yoto. Dia adalah teman sebangkuku. Kemana-mana aku selalu bersama dia. Perpustakaan, kantin, atau tempat-tempat lainnya aku selalu bersama Yoto. Aku tipe orang tertutup, mencari teman adalah hal yang sangat sulit bagiku. Maka dari itu, aku hanya memiliki 1 teman dekat. Sebenarnya cukup banyak yang aku kenal, tapi hanya sebatas kenal saja, tidak lebih. Tak sedikit pula anak-anak lain yang menjulukiku “si cupu”, mungkin karena sifatku yang pendiam dan juga aku menggunakan kacamata sebagai alat bantu indera penglihatanku.

Tak ada yang berkesan hari-hariku disekolah, semuanya berlalu dengan rasa yang hambar. Pelajaran, bagaikan hanya sekedar mampir di otakku, yang beberapa jam atau beberapa hari pun bisa hilang atau aku melupakannya. Jam sekolah selesai, aku bersama Yoto pergi ke gerbang, Yoto duluan pulang, karena supirnya sudah stand by, jadi Yoto tak perlu menunggu. Jauh berbeda denganku, aku harus selalu menunggu, 5 menit, 10, menit, 20-30 menit, bahkan 1 jam aku mematung, menunggu supirku datang. Karena ini sering terjadi, terkadang aku jalan kaki, aku tidak suka menunggu lama, menunggu itu begitu membosankan. Dan sekarangpun aku melakukan hal ini lagi, aku memutuskan untuk berjalan kaki, karena supirku tak datang juga, aku tak ingin sampai tubuhku berlumut hanya untuk menunggunya.

Aku berjalan dengan ritme sederhana, perasaanku sedang kalut, jadi dalam perjalananku, mataku tidak fokus, terlebih seperti orang bingung yang memiliki banyak masalah.

“Tidd.. Tidd.. Tidd.,” aku mendengar Suara klakson yang seakan memanggilku untuk menoleh ke sumber suara. Dengan gerakan yang cukup lambat, aku berputar arah. Perasaan malas yang kurasa, seakan sirna, Itu Kekasihku. Tanpa tunggu diperintah, aku masuk mobilnya dengan inisiatifku sendiri.

“Kenapa jalan kaki? Bukannya ada supir?” tanya dia dengan nada yang sangat lembut.

“Mungkin Tuhan udah berencana mempertemukan kita hari ini, jadi supirku tidak datang,” jawabku dengan penuh rasa bahagia.

“Kita nonton yuk? Katanya ada film bagus minggu ini? Mau kan?” ajaknya padaku yang saat itu sedang melamun tentangnya.

“Ah.. Gak bisa, gak bisa nolak,” jawabku dengan nada sedikit bercanda. Dia tersenyum manis saat mendengar jawabanku. Betapa lucunya dia, benar-benar membuat jantung ini betdetak tak menentu.

Akhirnya kita sampai disalah satu pusat hiburan di Ibu Kota ini. Aku turun terlebih dahulu dan pergi menuju balkon untuk menunggu dia menyimpan mobilnya di area parkir. Mungkin tak lebih dari 5 menit, dia sudah datang kembali. Kamipun langsung masuk ke dalam untuk menuju ke bioskop.

Ingin sekali aku menggandeng tangannya, tapi aku Takut dia menolak, jadi sebaiknya aku diam saja. Sampai dibioskop, kami langsung membeli tiket, kami tak perlu memilih film mana yang akan ditonton, karena kami datang kesini sudah dengan tujuan. Mungkin butuh waktu sekitar 10 menit, untuk menunggu film itu diputar, dan pintu theatre pun telah dibuka.

Film tadi begitu mengerikan. Aku tak suka film bergenre Thriller, aku lebih suka drama. Mungkin terkesan berlebihan bagi seorang pria, tapi menurutku genre drama lebih banyak hal positif yang dapat kita ambil, tidak seperti seperti film tadi, lebih banyak menyuguhkan darah-darah berceceran daripada makna film itu sendiri.

“Kamu lapar kan? Makan yuk, aku lapar tadi belum sempat makan,” ajakannya barusan, tak bisa kutolak, sedari tadi perutku sudah tak bisa diajak kompromi, aku sangat lapar. Maka dari itu, aku hanya bisa menjawab dengan sangat singkat, yaitu kata “ya.”

Kami berjalan menuju sebuah kedai yang sudah menjadi langganan kami ditempat ini. Sebuah restoran jepang yang makannya begitu nikmat dan istimewa. Aku sudah tak sabar ingin segera melahap sushi, teriyaki, atau makanan jepang lainnya yang membuatku begitu keroncongan. Aku ingin sekali berjalan sembari bergandengan tangan dengannya. Tapi aku tak berani memulainya, aku takut dia menolak, dengan terpaksa niat itu aku urungkan.

Akhirnya kami sampai, aku langsung mengambil tempat duduk yang kosong. Dia langsung memesan tanpa bertanya aku mau apa, mungkin dia sudah tahu pasti seleraku, jadi tak tak perlu repot bertanya lagi. Tak perlu menunggu lama, makanan itu datang, harumnya begitu menggoda. Aku sudah tak sabar, perut ini begitu lapar. Aku memulainya dengan memakan sushi, lalu teriyaki, yakiniku, dan semuanya aku lahap habis. Mungkin terkesan rakus, tapi ya inilah aku, porsi makanku cukup banyak, tapi tetap, bobot tubuhku masih terkontrol.

Perut sudah terisi, mata sudah tercuci, akhirnya kami berniat pulang. Kami berjalan santai, tapi sesuatu menghentikanku. Aku melihat ibuku bersama seorang perempuan di coffee shop.

“Siapa dia?” hatiku bertanya-tanya. Orag orang itu terlihat muda, mungkin berstatus mahasiswa. Lantas siapa, atau mungkin itu rekan kerjanya yang bisa jadi lebih muda dari ibuku.

“Ttekk!! Ada apa?” jentikan jari dia membuatku mengalihkan pandangan, aku tak mau dia tahu jika aku sedang memperhatikan seseorang.
“Gak ada apa-apa, ayo pulang,” ajakku sembari meraih tangannya. Diapun terlihat bingung dengan tingkahku.

Setelah dia selesai mengambil mobilnya, aku langsung masuk, dan kami langsung meluncur. Aku memintanya untuk lebih mempercepat laju mobilnya, aku ingin segera sampai kerumah, aku sudah mengantuk. Kulihat jam menunjukkan pukul 21.14, sudah melewati jam tidurku yang biasanya pukul 20.30. Akhirnya dia menurutiku. Hingga tak lama kemudian, sampai juga dirumahku. Lega rasanya, mata ini sudah terasa sangat berat. Aku ingin segera membaringkan tubuh ini dan menyelimutinya untuk mendapatkan kehangatan.

“Jangan tidur malam-malam ya sayang, love you,” ucapnya begitu romantis, tapi aku tak menjawabnya, aku langsung keluar mobil dan berjalan menuju pintu. Aku kecewa karena dia tidak mencium keningku seperti waktu lalu. Rasa kantuk ini seakan sirna oleh rasa kecewaku. Tapi tak terlalu aku pikirkan juga. Tak seharusnya aku membenci dia hanya karena ciuman dikening. Akupun membuang rasa itu jauh-jauh.

Hari ini, rumahku terasa sepi sekali. Bibi kemarin meminta ijin untuk pulang kampung karena anaknya sakit. Ibuku tak tau kemana, aku tak pernah ingin tau apa yang dia lakukan, karena menurutku tidak penting.

Setengah haru aku habiskan menonton televisi, sungguh membosankan dihari libur ini. Saat aku ingin beranjak dari kursi, ponselku berdering, dan aku lihat ada panggilan masuk. Tapi, nomor itu asing, tak ada dalam kontak ponselku. Karena penasaran aku langsung mengangkatnya,
“Hallo, ini dengan siapa?” lalu orang itu menjawab, yang aku sambut dengan rasa senang.

“Ini ayah . Ayah sangat merindukanmu,” aku terpaku, namun tak kusia-siakan waktu untuk meminta jika aku ingin bertemu dengannya hari ini juga.

“Ya, ayah juga ingin bertemu, ayah tunggu kamu di coffee shop tempat kita main dulu bertiga,” tanpa basa-basi lagi, aku langsung berangkat saat itu juga, aku begitu merindukannya. Aku tak sabar ingin berbagi rasa dan cerita padanya. Ku ambil mobil, dan akupun langsung meluncur ketempat yang sudah ayah tentukan.

Saat aku sampai, aku langsung turun dari mobilku. Disana terlihat seorang laki-laki melambaikan tangannya. Itu ayah, seketika aku berlari, aku begitu merindukannya.

“Ayah udah lama nunggu?” tanyaku membuka obrolan.

“Gak ko, ayah baru saja datang,” lanjutnya menjawab pertanyaanku. Setelah aku duduk, ayah memesan coffee kepada seorang waiter. Ayah sudah tahu apa yang aku suka, karena ini adalah tempat favorit kami dulu saat keluargaku masih utuh. Akhirnya kami terlibat obrolan yang sangat panjang. Aku menceritakan semua yang aku rasakan selama tinggal dirumah tanpa ada ayah. Rasanya, segala bebanku buyar pada saat itu tertuangkan melalui bercerita. Ayah begitu serius mendengar kata demi kata yang terlontar dari mulutku. Hingga giliran ayah yang menceritakan tentang kehidupannya setelah pergi dari rumah.

“Jujur , ayah sangat merasa nyaman sekarang. Pikiran ayah selalu tenang,” aku kecewa mendengar ucapan itu, awalnya aku berniat untuk mengajak ayah kembali ke rumah, tapi karena ayah berkata seperti itu, dengan berat hati niat itu harus aku urungkan. Ketika aku dalam keadaan murung berpikir tentang niat itu, aku dikejutkan dengan ucapan ayah.
“Satu hal yang harus kamu tahu,ibumu adalah seorang Preman,” sontak aku begitu kaget dan tidak percaya.

“Ayah bercanda kan?” aku bertanya dengan ekspresi terkejut. Lalu ayah menjawab keherananku itu,
“Tidak Jepp, itulah alasan utama ayah pergi dari rumah, ayah begitu merasa ketakutan dengan ibumu setelah ayah melihat dengan kepala ayah sendiri ibumu bercumbu gebukin orang orang dengan sebila golok,” jawaban ayah semakin membuatku tak percaya. Tapi, aku menjadi teringat ketika aku melihat ibu bersama orang orang beberapa waktu lalu. Apakah orang orang itu yang menjadi angota geng  ibuku? Entahlah, aku tak mau tahu lebih jauh, cukup sampai disini saja kebencianku terhadap ibu semakin bertambah saja. Akhirnya, setelah cukup lama kami terlibat obrolan, ayah pamit untuk pulang. Dia ada urusan pekerjaan yang belum sepenuhnya dikerjakan. Akupun mengijinkannya pamit, padahal sebenarnya aku masih ingin bersama dia. Rasanya pertemuan ini terlalu singkat, aku ingin bercerita pada ayah tentang diriku sebenarnya.
Dijalan pulang aku teringat bahwa 2 hari lagi hubunganku menginjak usia 1 tahun. Dan tepat saat aku menghentikan laju mobilku, aku melihat hiasan bertokohkan kartun favorit
pujaan hatiku. “Doraemon”, Anime jepang yang sangat populer di seluruh dunia, banyak orang yang menyukainya. Tapi tidak denganku, aku tak suka kartun. Hiasan itu terbuat dari
krystal, sangat indah, kilauannya begitu menarik perhatian. Aku turun dari mobil untuk membeli hiasan itu, aku akan menjadikannya sebagai hadiah ulang tahun hubunganku dengannya yang tinggal 2 hari lagi.

“Ini berapa mba?” tanyaku pada seorang perempuan penjaga toko bernamakan “Raisa Shiny Shop”.

“Rp. 750.000 ,00 de,” aku sedikit terkejut mendengar harganya, cukup mahal harga itu untuk ukuran seorang pelajar SMA. Tapi tanpa pikir dua kali, aku langsung membelinya. Uang tak ada artinya lagi jika disangkut pautkan dengan rasa kasih sayang.

Aku langsung masuk mobil untuk segera menuju rumah setelah mendapatkan barang indah ini. Aku sudah tak sabar menunggu hari jadiku dengannya tepat 1 tahun. Sungguh tak terasa, menjalani singasana cinta yang indah ini seakan begitu singkat. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Banyak rintangan dalam hubunganku dengannya. Tapi aku bersyukur sekali, Tuhan masih mempersatukan kita hingga saat ini. Tak terasa aku terlalu larut dalam lamunanku. Aku tersenyum, begitu indahnya perjalanan cintaku. Aku harus fokus menyetir agar cepat sampai rumah.
Sampai dirumah, aku langsung berlari kearah pintu. Akupun masuk dan berjalan menuju ruangan pribadiku. Saat sedang berjalan, aku melihat ibu yang sedang menonton tv diruang tengah. Aku langsung teringat ucapan ayah tadi, rasa takut ini semakin bertambah saja saat aku melihatnya. Tapi rasanya tak perlu aku pikirkan, apa peduliku terhadap dia? Lalu aku menapaki anak tangga untuk menuju lantai dua, Menuju kamarku. Aku menyimpan kado istimewa ini untuknya nanti. Ini harus dijaga baik-baik , tak boleh sampai rusak. “Tuhan, jadikanlah lusa hari terindah bagi kami, jadikan hari itu sebagai awal dari kehidupan cintaku yang akan berakhir bahagia kelak. Amin.” Sebuah harapan yang benar-benar aku dambakan. Aku yakin Tuhan mendengar do’a dari hati kecilku ini.

Pagi yang mendung. Kubuka jendela, sepertinya matahari enggan muncul dipagi ini. Aku keluar kamar dengan mengenakan kacamata terlebih dahulu supaya penglihatanku tidak buram. Kuambil segelas susu yang sudah tersedia dimeja makan. “Mungkin bibi sudah pulang,” pikirku. Kulihat keluar terlihat rintik-rintik hujan turun, tepatnya mungkin disebut gerimis. Aku kembali menuju kamar, jujur saja aku masih mengantuk.

Kulihat jam menunjukan pukul 06.15, sudah seharusnya aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Tapi aku masih saja bersantai, mungkin aku bolos hari ini. Aku berinisiatif mengajak kekasihku sekedar jalan-jalan nanti siang. Aku menelponnya, tapi ternyata dia sedang dikantor. “Aku lagi kerja, nanti kalau sudah pulang ya,” jawabannya membuatku murung. Aku bingung harus berbuat apa mengisi waktu kosong ini. Akhirnya dengan terpaksa aku tidur kembali.

“Arghh… Gak bisa,” gerutuku dalam hati. Mata ini sulit terpejam. Mungkin rasa kantukku sudah hilang. Aku bangun dan menyalakan televisi. Channel 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan semuanya, tak ada acara yang bagus. Semuanya membosankan. Rasa menyesal timbul, “Kenapa aku harus bolos, mungkin disekolah gak akan sebosan ini,” penyesalan memang selalu datang diakhir. Aku baru sadar, dari pagi aku belum makan. Pantas saja daritadi perutku bernyanyi, mungkin ingin segera isi. Akupun berjalan menuju dapur. Banyak sekali makanan dimeja, tanpa tunggu lama aku langsung menyantapnya.

Tanpa terasa sudah mulai petang. Aku sudah tak sabar ingin segera pukul 00.00. Karena itu akan menjadi hari yang membahagiakan untukku. Aku berpikir bagaimana cara membunuh waktu agar terasa lebih singkat. Tapi ide itu tak muncul jua. Aku hanya larut dalam kebingungan.

“Ada kiriman untukmu, barangnya ada di depan,” seseorang berkata padaku yang pastinya membuatku terkaget. Aku menoleh ke sumber suara, itu ibu. Tak biasanya dia berbicara padaku. Aku teringat apa yang dia ucapkan, kiriman. Aku berlari menuju ruang tengah. Kulihat ada sebuah kado terbungkus kertas polos warna favoritku, hijau. Aku langsung membukannya. Mataku terbelalak melihat isi kado itu, isinya sebuah lukisan kecil yang indah. Disana terlukis 2 orang, dan itu aku, aku dengan kekasihku. Tak ada nama pengirim, hanya ada kertas bertuliskan “I Love You”. Pasti ini dari kekasihku. Aku langsung berlari menuju kamar dan memajang lukisan indah itu. Sungguh menakjubkan, gambarnya begitu mulus, terlihat seperti nyata.

Tak kusadari ternyata ini sudah larut malam. Tepatnya 23.58. Aku mencoba menghitung mundur untuk memastikan tepat pukul 00.00 kekasihku menelponku. Tapi tebakanku meleset, Ponselku bisu. Apa mungkin dia lupa hari ini? Tapi tidak mungkin, jika dia lupa, tak mungkin dia mengirim hadiah itu padaku. Apa mungkin dia tidur? Entahlah, aku mencoba berpikir positif saja.

Sekarang jam menunjukan pukul 00.34. Aku berpikir bahwa dia memang sudah benar-benar tidur. Tak ada gunanya aku menunggu lagi, dengan terpaksa aku berniat untuk tidur. Baru saja aku memejamkan mata, aku mendengar ponselku berdering. Rasa kantuk itu sirna seketika. Aku langsung melihat siapa yang menelponku. Tapi ternyata ini orang asing. Nomornyapun tak ada dalam kontak ponselku. Aku malas mengangkatnya. Dengan penuh kecewa aku menekan tombol hijau dengan artinya aku menerima panggilan itu.

“Happy Anniversary,” aku menitikan air mata mendengar suara lembut itu. Penantianku terasa berarti.

“Hallo, kenapa diam?” aku tak menjawab sepatah katapun. Tapi sebelum dia berniat menutup teleponnya karena menganggapku sudah tidur, aku berkata,
“Sebentar,” tak tahu kenapa aku ingin sekali merekam suaranya, aku tak mau moment ini tak diabadikan. Setelah selesai mensetting, aku mulai berkata,
“Happy Anniversary too dear,” itulah kata yang terucap dari mulutku membuka perbincangan di malam indah ini. Di tengah perbincangan dia benyanyi lagu favoritku.

Percayalah
Hanya diriku paling mengerti
Kegelisahan jiwamu kasih
Dan arti kata kecewamu

Itulah sepenggal liriknya. Meskipun dia tak memiliki suara yang merdu, tapi dia bernyanyi dari hati. Itulah yang membuat lirik itu sampai pada hatiku. Malam ini benar-benar indah kurasakan. Meskipun harus menunggu, tapi hasilnya memuaskan. Menunggu memang membosankan, tapi bosan itu akan hilang jika sesuatu yang kita tunggu berakhirkan kebahagiaan.
“Kriingg.. Kriingg.. Kriingg..,” aku dikagetkan dengan bunyi alarm yang begitu kencang. Astaga, saat ku raih jam weker bergambarkan “Spongebob” itu menujukkan pukul 07.00. Aku telat bangun hari ini. Sial, aku harus bolos lagi. Gara-gara perbincangan tadi malam aku harus absen sekolah, aku harus bersiap untuk bergelut dengan rasa jenuh seharian dirumah tanpa aktifitas yang jelas. Tapi sungguh, malam tadi begitu indah. Aku ingat akan rekaman itu. Aku meraih ponselku yang tertidur di atas ranjang. Lalu kuputar rekaman itu. Aku tersenyum sendiri mendengarnya. Betapa bahagianya aku tadi malam, hingga aku tak ingin melupakan moment bersejarah itu.

Sebentar lagi pukul 19.00, kami akan segera melakukan makan malam romantis dengan ditemani cahaya lilin yang temaram, atau lebih dikenal dengan sebutan “Candle Light Dinner”. Sudah hampir 1 jam aku memilah-milih mana kemeja yang cocok denganku. Hingga akhirnya aku dapat kemeja berwarna hijau yang cocok dengan remaja seumuranku dengan motif yang jauh dari kesan tua.

Senangnya hatiku, tak sabar ingin sekali berjumpa dengannya. Tak lupa aku mengambil Kado berisikan hiasan krystal yang beberapa waktu lalu aku beli. Saat aku hendak masuk mobil, ponselku berdering. Malas sekali menjawabnya, terlalu banyak nomor asing yang menghubungiku. Tapi aku coba mengangkatnya,
“Hallo, dengan siapa?” pertanyaanku langsung dijawab,
“Kami dari Rumah Sakit Bakti Husada memberitahukan kepada anda bahwa saudari Yohana terluka para oleh kebakaran di kantornya, dan sekarang sedang dalam keadaan Kritis,” tubuhku bergetar dan lemas mendengar perkataan itu, dan “Brakkk..!!” Kado itu jatuh seiring hilangnya tenaga dalam tubuhku. Mungkin pecah atau bahkan hancur, aku tak peduli. Aku langsung masuk mobil, dan melaju dengan cepat. Tak terkendali, aku melaju dengan kecepatan di atas rata-rata dengan keadaan berlinang air mata. Aku tak peduli polisi, yang kupedulikan adalah nyawa, nyawa kekasihku.

Sampai dirumah sakit, aku langsung bertanya dimana korban kebakaran yang baru saja dilarikan kerumah sakit ini. Dan tak lama kemudian seorang suster mengantarkanku kedepan sebuah ruangan, tepatnya ruangan operasi. Aku menunggu seorang diri dengan perasaan yang tidak enak. Aku menangis, tak peduli orang lain melihatku. Perasaan senang tadi yang sempat tumbuh dalam hati ini, kini entah kemana perginya. Yang aku rasa sekarang hanyalah khawatir.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya seorang dokter keluar. Dia berkata, “ serpian peahen kaca berhasil dikeluarkan, sebentar lagi beliau akan dipindahkan.” Aku sungguh lega mendengar ucapan itu. Rasa khawatir ini sedikit demi sedikit mulai hilang. Kemudian seorang suster datang dan mengantarkanku ke ruangan kekasihku dirawat. Diperjalanan suster itu bercerita,
“Saat kondisinya kritis dia menyuruh saya menelpon anda, katanya anda orang yang paling dekat,” aku terharu mendengar itu, dia begitu menganggapku penuh arti. Lalu aku bertanya,
“Dia kesini bersama siapa suster, tak mungkin kan sendiri?” dengan sigap suster itu menjawab,
“Ada seorang yang mengantarkannya, mungkin beliau seorang saksi kejadian itu,” tak terasa aku sampai pada ruangan yang bernama “Melati”. Aku berterima kasih kepada suster karena telah mengantarku.

Kubuka pintu, dan kulihat dia terbaring lemas. Tak terasa air mata ini jatuh. Aku mendekatinya, lalu kucium keningnya. Kuihat air mataku jatuh dipipinya. Aku langsung menghapus air mata itu. Hatiku begitu sakit melihat dia dalam kondisi seperti ini. Seharusnya malam ini menjadi malam yang indah bagi kami. Namun Tuhan berkehendak lain. Hatiku bertanya-tanya, kenapa ada gedung kantornya terjadi kebakaran hebat. Semoga kasus ini bisa segera diselesaikan oleh pihak yang berwajib. Karena bagiku ini bukan hal yang sepele.

“Krekk..” Suara kecil itu membangunkanku yang diikuti dengan silaunya sinar mentari pagi yang semakin membukakan indera penglihatanku ini. Kulihat ternyata seorang suster yang membukakan gorden. Ternyata ini sudah siang, baru kusadari bahwa aku tertidur saat menunggu kekasihku siuman. “Selamat pagi,” ucap suster itu ramah seraya keluar dari ruangan ini. Kulihat ke arah kekasihku yang kurasa tak ada perubahan. Aku berharap dia segera siuman. Aku pergi ke toilet untuk mencuci muka. Mataku terlihat sendu, mungkin terlalu banyak air mata yang mengalir menemani kesedihanku. Kupakai kembali kacamataku dan berjalan menuju ranjang. Aku mencium keningnya. Tuhan, aku sungguh menyayanginya melebihi apapun.
Perutku terasa lapar. Akupun berniat untuk pergi membeli makanan. Namun langkahku terhenti saat aku mendengar,
“An.. An.. Dy,” sontak aku menoleh kebelakang, dia siuman. Aku langsung mendekat ke ranjang. Aku meneteskan air mata. Aku bahagia.
“Ja.. Ga di.. Rimu baik-bai..k ya?” aku terdiam mendengar itu, apa maksudnya.

“Kenapa kamu ngomong gitu?” dia hanya diam dan memegang tanganku dengan gerakan yang lambat. Air mataku mengalir, perasaanku tak enak. Dia mengecup tanganku, seraya berkata,
“A..ku cin..ta kam.mu.. Jee..eppp,” ucapan terbata-bata itu membuatku tak bisa membendung air mata.

“Aku juga cinta sama kamu, sangat cinta,” aku menjawab dengan bercucuran air mata. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Tangannya tiba-tiba melemas dan jatuh dari genggamanku. Kulihat matanya tertutup. Lalu kudekatkan telingaku ke hidungnya. Tuhan, dia tak bernafas. Aku langsung berlari keluar mencari dokter. Tak butuh waktu lama dokter itupun ada dan langsung bergegas lari keruang inap kekasihku. Aku duduk diluar dengan perasaan yang benar-benar hancur. Aku tak mau terjadi apa-apa. Kudengar dokter itu keluar,
“Dia sudah tak ada, dia sudah meninggal,” aku terpaku, mulutku seakan membisu. Tuhan, ini pasti mimpi. Aku larut dalam diam dengan air mata yang tak berhenti jatuh. Dan saat itu aku tak sadarkan diri.

Aku terbangun disuatu kamar. Kamar ini terasa asing. Ternyata tadi hanya mimpi. Tapi, aku mendengar suara yang terdengar ramai. Seperti orang membaca Alkitab. Hatiku bertanya ada apa. Akupun keluar dari kamar. Dan kulihat sesosok jenazah terbujur kaku dengan ditutupi kain putih berada tepat diantara kerumunan orang yang sedang melantunkan nyanyian penghiburan. Dan itu kekasihku. Ternyata ini nyata, kakiku melemas dan aku menjatukan badanku. Lalu datang Billy, dia adik kekasihku. Dia berkata, “Tadi kamu pingsan,” aku digandeng Billy mendekat kepada jenazah kekasihku, Air mataku sungguh tak tertahankan. Betapa remuknya hati ini melihat seseorang yang tercinta terkulai lemah tak bernyawa lagi. Lalu kulihat sekeliling, tapi aku terhenti saat aku melihat seseorang yang aku kenal. Dia kekasih ibuku, orang orang yang kulihat dulu bersama ibu. Sedang apa dia disini.

Jenazahpun segera dikebumikan. Namun aku tak ikut kepemakaman. Aku lebih memilih untuk pulang. Aku diantar Billy sampai depan rumah. Dia langsung kembali lagi karena akan mengikuti proses pemakaman. Aku masuk kerumah dengan lemas, aku tak bisa berhenti menangis. Aku tetap berharap bahwa ini mimpi. Saat itu, kulihat ibu begitu gelisah. Tapi aku tak memikirkannya, apa peduliku. Aku menuju kamar. Saat aku akan menjatuhkan tubuhku, aku melihat lukisan kecil yang dulu dia berikan kepadaku. Air mata ini kembali terjatuh, sungguh aku tak menyangka secepat ini dia harus pergi.

Semalaman aku larut dalam tangis. Aku ingat bahwa menangisi secara berlebihan terhadap orang yang sudah tidak ada, hanya memberikan beban. Aku mulai mencoba tegar. Kulihat ponselku, tak ada ucapan “Selamat Pagi” yang setiap hari aku dapatkan saat dia masih ada. Aku kembali menangis, sungguh sulit melupakan semuanya. Hari ini aku berniat ke pemakaman, aku ingin melihat pusara kekasihku sekaligus untuk mendo’akannya. Aku bergegas mandi sebelum berangkat kesana.
Dari kejauhan, aku melihat kuburan yang masih merah dengan bunga-bunga yang hampir layu. Aku mendekati kuburan itu, dan aku lihat batu nisan itu bertuliskan nama Yohanna Mahendra. Ketegaran yang ku dirikan dulu, seakan roboh. Aku tak bisa menahan air mataku. Aku menjatuhkan tubuhku seraya memeluk tumpukan tanah berisikan tubuh Yohanna yang sangat kucintai. Hatiku benar-benar sakit mengingat bahwa ibulah yang telah membunuhnya. Aku tak peduli pakaianku kotor. Aku hanya ingin berdekatan dengan kekasihku meskipun sudah tak nampak lagi raganya.
Sesudah air mataku bisa aku tahan, aku berniat pulang. Hidupku sudah semakin hancur. Kehidupan keluarga yang abstrak, kehidupan cintakupun berakhir dengan duka. Aku tak bisa menolak perasaan ini. Aku sangat mencintai Yohanna, dia begitu berarti dalam hidupku. Pikiranku entah kemana, padahal aku dalam keadaan menyetir. Sepanjang perjalanan, pipiku dibanjiri air mata. Sungguh ironis kehidupanku.

Hari ini aku tak makan. Perutku sama sekali tak terasa lapar. Menangis dan menangis yang menjadi aktifitasku seharian ini. Tak ada lagi Yohanna, yang selalu memberikan pundaknya untukku bersandar dibahunya. Tak ada lagi Galih, yang selalu menghapus air mataku saat aku dirundung duka. Sungguh kosong, hidupku sangat hampa. Hanya ada foto yang bisa aku lihat, peluk dan kucium dengan air mata yang tak hentinya mengalir. Mungkin terlihat berlebihan, tapi ketahuilah jika orang lain merasakan apa yang aku rasakan, mereka akan tahu arti kehancuran yang sebenarnya.

Tiba-tiba aku teringat rekaman saat hari jadiku dengan Yohanna tepat 1 tahun dan tepat 1 hari sebelum dia meninggal. Aku putar rekaman itu, dan terdengarlah suara yohanna yang begitu lembut. Aku kembali menangis. Tuhan, inikah cobaan? Kenapa tepat 1 tahun itu, yang seharusnya menjadi hari kebahagiaanku, terasa terbalik. Hari itu menjadi hari petaka bagiku karena harus kehilangannya. Entahlah, itu rahasia Tuhan.

Temanku sekarang hanyalah foto dan rekaman suara Yohanna yang setiap kali aku mendengarnya, air mataku mengalir tanpa habis-habisnya. Aku tak tahu hidupku bagaimana nantinya. Pasti sulit melupakan semua ini. Yang pada akhirnya hanya menangis yang bisa aku lakukan. Dia adalah Perempuan terindah yang aku miliki. Dia membuatku yakin dengan pilihan hidupku. Meskipun harus kusadari sekarang, bahwa tangisanku sudah tak ada artinya lagi, karena Yohanna tak akan pernah kembali ke pelukanku lagi.



Minggu, 26 Mei 2013

Lihat, Dengar, Rasakan. Dari Pengagum Rahasiamu

Pernah dengar lagu Sheila On 7 yang judulnya LIHAT, DENGAR, RASAKAN. lagu yang cukup jadul di telinga...

Sekarang gue lagi dengerin sembari duduk di Balkon sembari menikmati semilir angin nan sejuk membelai wajahku...

Duduk duduk sembari dengerin lagu itu. Muncuk satu Nama, satu wajah dan satu senyum yang pernah bersalaman denganku waktu musim hujan di kota bandung letaknya di jalan Maulana Yusuf.

Mungkin Tuhan tau yang kayak begini yang aku suka bgt. Maksudnya suka aku liatin saat lagi butuh hiburan...

Sesuai judul lagu ini. lihat, dengar, rasakan. Gue sudah merasakan semuanya. Melihatnya mendengarnya dan merasakannya.

Tuhan mungkin mengetahui segalanya akan berakhir dan DIA mengirimkan seseorang yang mungkin bisa di bilang buat aku Greget buat melanggar semua peraturan yang menghalangi jalanku kepadanya.

Melihatnya saat pertama menjadi momen terindah buat gue, senyumnya benar benar mencuri pandanganku yang awalnya tak fokus padanya. Kepolosanya yang membuat dia di cintai banyak orang yang melihatnya. Pemikirannya membuat semua kagum padanya.,

sebagai seseorang yang mengaguminya selalu tidak dapat cela untuk mengaguminya dari dekat. Walau cuma melihat senyumnya yang terlalu manis itu..

Terkadang gue cuma bisa memandanginya dari Jendela Gereja saat dia pergi menggalkan gue yang terkadang berharap ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamanya hanya untuk berbicara sepenggal kisah kisah anak anak di negri dongeng.

"... Pagi Kak Rey..." Mendengarkan 3 potong kata yang terucap dari bibirnya, gue seperti anak anak yang ingin memeluknya alias manja sejenak. Namun gue cuma bisa membalasnya dengan senyum. Hati gue seperi ada paduan suara yang bersorak sorak suka cita menyambut senyuman dan suara paginya...

Cinta mungkin tidak selamanya harus memiliki walau kadang ingin memiliki waktu sejenak bersamanya. Seandanya bisa gue mungkin adalah laki laki yang paling bahagia dan tak mungkin murung durja setiap mengingat masalalu. Dia terlalu sempurna untuk di miliki walaupun terkadang, mungkin. Bisa di miliki namun tak mungkin bisa. Sekalipun bisa gue akan mencoba untuk merenda kan hati gue untuk sebuah langka baru.

Cuma dia dari awal yang selalu hadir dalam pagi gue. Bayangannya yang menghantui gue setiap gue buka mata setiap pagi.

Senyumnya selalu membereskan masalah yang bergejolak dalam hati.

Seandainya bisa Tuhan Injikan gue memilik dari ribuan, gue akan memilihnya dan meninggalkan yang pernah memberi pesonanya di lembaran hidup gue.

Manusia boleh bermimpi namun Tuhan jua yang mengabulkannya. Tapi sejauh ini gue sudah bahagia dan bersukur sudah menjadi bagian dari kisah hidupnya. Setidaknya gue tidak akan di lupakanya sampai akhir hayatnya.

Mengingatnya saat dia tersenyum dan mengingatku saat melakukan hal konyol untuk mendapatkan sebuah perhatian.

Terlalu indah dia buat gue yang cuma sebatas gerhana bulan buat dia.

Seandainya dia mengetahui kalau itu adalah dia. Mungkin gue cuma bisa berbisik di telinganya "... Bersamalah denganku dan tersenyumlah..."

dia lah yang terakhir menghubungiku saat gue meningalkan semua. Walau tak bicara tapi gue tau dia mendengar suara gue. Dan sekarang...

Gue cuma bisa mengingat saat pertama kali MELIHATNYA, MENDENGARKANNYA dan MERASAKANNYA.

mengagumimu adalah suatu kenikmatan tersendiri saat semua manusia bahwa kamu adalah yang selalu membuat hari hari gue berwarna di masa masa krisisku. Sekarang semua terasa jauh namun gue cukup merasakan bahwa kita masih satu langit dan satu bumi. Dimana kita pasti berjumpa lagi untuk mengatakan salam satu sama lain di Gereja tercinta kita. GKI MY Bandung.

SELAMAT HARI MINGGU