Sabtu, 20 Desember 2014

Cahaya Lili Natal


Kegetiran hidup menyelimuti diriku ketika aku menatap hampa ke layar televisi. Sebuah film hitam putih, “It’s a Wonderful Life” sedang ditayangkan. Film ini adalah salah satu film favoritku sepanjang waktu. Menonton itu hatiku dipenuhi dengan kegembiraan dan gairah. Tapi, kini semua ketidakmustahilan tentang malaikat pelindung dan keajaiban-keajaiban tersebut membuat perasaanku muak.
“Di manakah malaikat pelindung putraku itu berada pada malam hari Natal, ketika roda-roda mobil tersebut menghancurkan tubuhnya,” aku bertanya kepada wajah-wajah riang dalam layar televisi.

Kemudian aku memandang ke atas dan bertanya dalam hati kepada Tuhan tentang permohonan yang aku ajukan berkali-kali di sepanjang tahun lalu. “Apa yang terjadi dengan keajaiban yang kumohonkan lewat doa-doa kepada Tuhan, tentang keajaiban agar putraku senantiasa dikaruniai keselamatan?”
Kedamaian dan kebahagiaan. Aku tidak bisa membayangkan akan pernah merasakan emosi-emosi itu lagi, tidak ketika putraku yang berusia tujuh belas tahun berbaring dalam makamnya yang ditimbuni tanah basah. Sejak kematian Susilo, aku telah berubah dari ibu dan istri yang menarik serta bahagia menjadi bayangan diriku sebelumnya. Rambutku yang sepanjang bahu kini tampak terjurai kusut. Kulitku yang cokelat sehat kini tampak pucat.

Aku tidak bisa meneruskan dengan cara seperti ini. Hidupku terasa hampa, dan aku telah membuat suamiku, Yanto sengsara. Itulah kenapa pada malam ini, malam Hari Natal, tepat satu tahun sesudah Susilo terbunuh, aku berniat menemani putraku di alam kematian.
Bermacam-macam pil yang aku kumpulkan sepanjang minggu telah lebih dari cukup untuk melakukan tugas itu. Aku akan segera tertidur dan ketika aku membuka mataku nanti, aku sudah akan bersama putraku lagi, Susilo.

Air mata mengaburkan pandanganku ketika aku memegang segenggam penuh pil dengan sebelah tangan kiriku, dan segelas air di tangan kananku. Pikiranku melayang pada suamiku yang sedang terbaring di ranjangnya, tertidur lelap. Dia tidak menyangka istrinya berada di ruang duduk untuk bersiap-siap bunuh diri!
Aku sadar suamiku sangat mencintaiku, dan jauh di dalam lubuk kesedihanku, aku pun sangat mencintai dia juga. Kendati demikian, kasih dan sayang kami tidak mampu menghilangkan rasa sakit yang begitu hebat dalam hatiku yang hancur berantakan. Selain itu, dia jauh lebih tabah ketimbang aku. Dia tidak akan begitu terpengaruh seandainya aku mati, karena dia dengan cepat akan menemukan wanita lain. Bahkan dia mungkin akan dapat memulai kehidupan rumah tangga yang baru.

Aku teringat telah bangun sebelum fajar pada Hari Natal tahun lalu, untuk menyelesaikan membuat roti. Dipenuhi rasa keriangan hari libur, aku bersenandung riang mengikuti alunan-alunan lagu yang berkumandang dari radio selagi aku masih bekerja. Aku sedang mengeluarkan kue kentang dari oven ketika anakku dan suamiku menyelonong ke dalam dapur sekitar pukul Sembilan. Mereka berdua telah bekerja sampai larut, menyiapkan pohon Natal pada malam sebelumnya. Aku pun beberapa malam sudah membantu mereka.
“Selamat Hari Natal, sang penidur!” aku berseru. “Kukira kalian berdua akan tetap molor di sepanjang hari.”
“Selamat pagi sayang,” suamiku menjawab dengan nada masih mengantuk, mengendus udara dekat pipiku. Dia langsung menjangkau poci kopi dan menuang secangkir untuk dirinya sendiri.

Kendati kami sudah menikah selama hampir dua puluh tahun, pandangan atas suamiku masih tetap membuat hatiku bergairah. Beberapa kerutan terlihat di sekitar kedua matanya dan uban tipis mulai menghiasi keningnya, namun ia tetap pria paling tampan yang pernah aku lihat.
Susilo adalah duplikat muda ayahnya. Aku nyaris tak percaya waktu telah berlalu sedemikian cepat. Tampaknya dia seperti sedang menghabiskan makan di kursinya yang tinggi di depanku – seminggu yang lalu. Kini, tubuhnya lebih tinggi ketimbang aku dan ayahnya.
“Selamat pagi, Mam,” Susilo menggumam, kemudian melayangkan pandangan ke ayahnya.
“Bagaimana, Mama bersikap riang pada jam-jam seperti ini?”
Suamiku mengangkat bahu dan sambil menenggak kopinya lagi. “Kau tahu bagaimana Mamamu pada hari-hari libur. Ia seperti peri yang menjelma. Bahkan kopinya sendiri beraroma Natal,” dia akan menjawab, mengomentari serpihan kayu manis dan panili yang aku campurkan ke dalam adukan kopi.
“Aku berani taruhan, hanya aku yang punya Mama di seluruh dunia, yang bisa membuat kopi Natal,” Susilo berkata, tertawa-tawa. Aku memukul-mukulkan kedua tangan ke paha, pura-pura merasa dihina.
“Kalian tahu, campuran itu akan menambah selera makan kalian.”
“Yah, tapi kue-kue serabi yang besar mungkin akan lebih menambah selera kami, Mama,” Susilo mengedip-ngedipkan mata pada ayahnya.
“Kedengarannya memang cocok dengan kemauanku. Bagaimana tentang itu Ma?” Yanto bertanya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Maaf, tuan-tuan, aku sedang kehabisan bahan-bahannya. Kalian harus menyiapkannya dulu.”
“Tidak bisa Mama, kami tidak mengharapkan jawaban seperti itu,” Susilo bersikeras.
“Aku akan pergi ke pasar. Mama harus mulai menyiapkan kue itu.” Susilo condong ke depan sambil mencium pipiku. “Itulah kenapa Mama selalu menjadi wanita kesayanganku,” dia berkata, mengambil kunci mobilku.
Aku tertawa dan mengingatkannya untuk berhati-hati. Jika aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku akan mencekal tangan dan mendekapnya erat-erat tak akan pernah membiarkan pergi.
Yanto duduk di dapur dan menemani selagi aku mengaduk-aduk adonan serabi. Kami membicarakan kejutan besar yang akan kami berikan pada putra kami pada hari berikutnya. Kami rasanya tidak sabar menunggu untuk melihat ekspresi wajahnya, ketika dia melihat Honda Tiger yang baru kami beli buat dia.
“Apakah kau benar-benar yakin dia akan menyukai itu?” aku bertanya.
“Itu motor bekas, bukan?” Yanto minum kopi lagi.
“Biarpun bekas, motor itu gagah, mulus dan kuat. Dia akan begitu bangga.”
“Kau tak merasa sangat memanjakannya bukan?” aku bertanya.
Yanto dan aku telah mengharapkan sebuah rumah yang dipenuhi anak-anak, namun Tuhan hanya menganugerahi seorang putra, Susilo. Dia senantiasa menunjukkan sikap sebagai anak yang begitu baik.
“Yah, dia akan memasuki Universitas tahun depan, dan aku ingin Natal ini menjadi waktu yang sangat khusus,” Yanto menjelaskan.
Pikiran tentang putra tunggalku pergi ke kota lain untuk berkuliah membuat air mata memenuhi pandanganku.
“Aku tak ingin anak kita pergi jauh untuk menuntut ilmu,” aku menggumam. Kutaruh kue serabi di atas meja dan kujatuhkan tubuhku ke dalam kedua tangan suamiku yang terentang.
“Ngomong-ngomong tentang anak kita, kemanakah dia pergi?” Yanto bertanya sambil memandang arlojinya. “Seharusnya dia sudah pulang sekarang.”
“Mungkin singgah ke rumah salah seorang temannya, dan tak ingat waktu,” aku menjawab.
Setengah jam telah berlalu, baik Yanto maupun aku mulai merasa gelisah. Bukan sikap Susilo membuat kami menunggu-nunggu dia seperti ini, khususnya dengan kue-kue serabi di atas wajan. Mendadak telepon bordering dan Yanto menjangkau gagangnya.
“Itu mungkin dia,” aku berkata, mendesahkan perasaan lega.
Petunjuk waktu oven berbunyi, dan aku segera mengeluarkan kue-kue serabiku. Aku memutar tubuh ketika mendengar Yanto menjatuhkan gagang telepon ke atas lantai. Wajahnya nampak tegang.
“Ada apa?” aku bertanya, rasa panik mulai memenuhi dadaku.
“Yanto, apakah itu? Siapakah yang menelpon?”
“Susilo tertabrak,” dia menjawab seolah-olah tak percaya apa yang sedang dikatakannya.
Jantungku terasa membeku dalam dada.
“Oh, tidak! Itu mungkin hanya kekeliruan saja. Dia sedang pergi ke pasar.”
“Yang menelepon itu Pak Polisi. Mereka sedang membawa Susilo ke RSCM,” dia menjelaskan.
Perasaan shock yang mula-mula melanda diri kami berubah menjadi ketakutan yang sangat mencekam, ketika Yanto melanggar segala peraturan lalu-lintas, meluncur sekencang-kencangnya melintasi kota menuju rumah sakit pusat. Namun itu masih belum cukup cepat bagiku. Dengan diam-diam, aku berdoa agar Susilo tidak terjadi apa-apa. Aku menatap Yanto untuk memperoleh kepastian, namun dia pun sama-sama takutnya seperti aku.
Ketika kami akhirnya sampai di rumah sakit, aku meloncat ke luar sebelum Yanto sempat mematikan mesin mobilnya. Kami saling bergandengan tangan erat-erat tatkala kami melangkah cepat melintasi lapangan parkir.
“Kami sedang mencari putra kami, Susilo Budiyanto,” dengan napas tertahan aku bertanya kepada petugas penerima di depan mejanya.
Ia menghindari pertanyaanku, memberikan beberapa lembar formulir ke tanganku, dan memimpin kami ke ruang tunggu. Ia bilang dokter akan berbicara dengan kami sebentar lagi.
“Apakah yang terjadi?” Yanto bertanya kepadanya.
“Apakah lukanya cukup parah.”
“Saya mohon maaf. Anda harus menunggu dan berbicara langsung dengan dokter yang menanganinya,” ia menjawab ramah namun tegas.
Bau disinfektan dan penyakit melanda lubang hidungku ketika kami duduk di kursi ruang tunggu yang berlapis plastik tebal. Seseorang telah mencoba menghidupkan suasana ruangan meja yang dihiasi pohon Natal, namun bau antiseptik masih tercium.
Yanto memisah lembar-lembar formulir, memberiku selembar daftar pertanyaan medis, sementara dia mengisi formulir-formulir asuransi. Aku berkonsentrasi menjawab halaman-halaman pertanyaan yang begitu banyak, ingin pura-pura tidak memperhatikan aktivitas yang berlangsung di sekitar ruang perawatan gawat-darurat.
Aku mencoba melihat sendiri apa yang dilakukan para dokter, namun Yanto menahanku.
“Biarkan mereka melakukan tugasnya,” dia membujuk, merangkulkan lengan ke bahuku yang gemetar.
Tak pernah selama hidup aku merasa demikian putus asa. Bahkan seandainya aku diijinkan melihat Susilo, aku sadar tak ada yang bisa aku lakukan untuk menolong dia. Ketika dia masih anak-anak, aku dapat menghilangkan rasa sakitnya dengan ciuman atau sepotong kue. Jika sekarang hanyalah seperti itu… aku akan hanya bisa menunggu dan berdoa.
“Tuan dan Nyonya Budiyanto?” seorang polisi bertanya ketika dia dan rekannya melangkah ke dalam ruang tunggu. “Saya Serda Purnomo, saya petugas pertama yang tiba di TKP.” Ekpresi suara pada wajah Serda Purnomo membuat perutku seakan terikat kencang. Baik dia maupun rekannya saling menghindari pandangan kami, ketika mereka menjelaskan kepada kami apa yang telah menimpa diri Susilo.
Bayangan putraku terbaring di lantai yang dingin, berlumuran darah, melanda pikiranku. Dia pasti sangat ketakutan. Aku berharap, akulah yang tertabrak bukan dia, dan akan dengan senang hati akan menggantikan tempatnya sekarang begitu dia berjuang keras mempertahankan usia mudanya.
“Kami telah menangkap penabrak itu sekitar tiga blok dari toko tersebut,” polisi yang lain menambahkan. Pada point ini, aku tidak ambil pusing polisi berhasil atau tidak menangkap penabrak anaknya itu. Perhatianku hanya terpusat pada keselamatan putraku.
“Anda melihat Susilo sebelum mereka membawanya ke rumah sakit,” aku bertanya, suaraku sangat parau hingga nyaris hanya terdengar sebagai bisikan.
“Bagaimana keadaan, Anda?”
Kedua polisi itu saling bertukar pandangan sedih, dan rasanya berabad-abad sebelum Serda Purnomo menjawab.
“Jantung putra Anda berhenti berdenyut dua kali, dan dia harus disadarkan dua kali sebelum mereka memasukkannya ke dalam ambulans. Dia masih hidup tapi tampaknya…”
Sedu-sedan mengguncang tubuhku ketika aku menjatuhkan diri ke dalam pelukan Yanto yang kuat. Putraku telah meninggal, dan aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku bahkan tidak boleh mendekati dia, memegang tangannya, dan membiarkan dia tahu mamanya sangat mencintainya.
Satu jam telah lewat, sebelum dokter muncul keluar untuk berbicara dengan kami. Wajahnya tampak letih dan sedih, bahunya merosot ke depan dalam sikap pasrah. Yanto dan aku bergegas mendekati, ingin mendengar tentang keadaan putra kami.
“Saya mohon maaf, Tuan dan Nyonya Budiyanto. Susilo tidak mampu bertahan. Kami sudah berusaha semampu kami, namun dia terlampau banyak mengeluarkan darah.”
“Tidak… Tidak… tidak…” aku berbisik, menggeleng-gelengkan kepala dalam ketidakpercayaan. Aku telah berdoa begitu khusyuk. Aku sadar Tuhan tidak akan membiarkan putra kesayanganku mati, tidak pada Hari Natal.

Wajah tampan Yanto tampak lebih tua dua puluh tahun tatkala dia mendengar berita itu. “Saya yakin Anda telah berusaha semampu Dokter,” dia menggumam.
Ketabahan tipis yang menahan kewarasan pikiranku terasa sirna. Dokter menyatakan keliru atau telah berbohong. Putraku, yang sangat sehat dan penuh gairah hidup tadi pagi, kini telah tiada. Aku tahu Tuhan tidak membiarkannya hidup dua kali hanya untuk kemudian membiarkannya mati. Ini pasti hanya sejenis gurauan yang tidak lucu, kejam, pikiranku yang tidak logis mengatakan. Para remaja tidak akan mati di hadapan orangtua mereka. Aku akan menyelidiki dasar kekacauan ini.
“Jangan percaya dia, Yanto. Dia bohong!” aku berteriak histeris.
“Aku ingin melihat putraku. Sekarang juga!”
“Saya kira itu bukan gagasan baik, Nyonya Budyanto,” dokter menanggapi. Kemudian dia memandang Yanto.
“Saya kira akan lebih baik jika saya memberi obat penenang kepada istri Anda.”
“Saya tak ingin obat penenang!” aku berseru.
“Saya ingin melihat anak saya, dan tak ada yang bisa untuk menghalangi saya.” Aku berjalan ke arah ruang pemeriksaan. Aku harus menghentikan kekacauan ini. Susilo sudah mati. Kami telah membelikan dia sepeda motor sebagai hadiah Natal.
Ketika aku mendorong pintu ruang pemeriksaan, seorang perawat sedang mematikan mesin-mesin dan melepas kaitan slang-slang dari tubuh yang tidak bergerak di atas usungan. “Ya Tuhan, pastikan mereka telah salah bicara,” aku berbisik ketika aku melangkah perlahan ke arah usungan. Yanto memelukku dari belakang.

“Mama, kuminta jangan kau lakukan ini,” dia berkata serak.
Aku melepaskan diri dari dia dan melangkah ke usungan. Aku memandang ke bawah, dan impianku yang terburuk menjadi kenyataan. Di bawah darah, luka-luka memar, dan slang-slang, wajah Susilo yang tak bernyawa membalas pandanganku. Tanpa ditahan pelukan Yanto yang kuat, tubuhku pasti sudah roboh, pingsan. Semua itu benar! Putra kesayanganku, yang hidup penuh gairah tadi pagi, telah mati.
Aku membungkuk dan memegang tangan Susilo. Aku tak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sana, memeluknya, memandangi dia. Aku hanya ingat, tidak akan membiarkannya pergi, sampai kehangatan tubuhnya perlahan-lahan hilang.
“Semua ini kesalahanku,” aku bilang kepada Yanto dalam perjalanan pulang.
“Kau ngomong apa?”
“Aku ibu rumah tangga. Adalah tugasku untuk menyediakan bahan-bahan makanan,” aku menangis terisak-isak.
“Seharusnya aku sendiri yang membeli bahan-bahan itu. Dengan begitu Susilo masih tetap hidup.”
Yanto menghentikan mobil di pinggir jalan. Airmata meleleh turun ke wajahnya ketika dia menarik tubuhku. “Mama, kau istri yang baik, dan kau ibu yang mengagumkan bagi putra kita. Semua ini bukan kesalahanmu. Itu hanya telah terjadi, sudah nasib kita. Dan aku sudah tahu kenapa.”
Penderitaan pada upacara pemakaman dan minggu-minggu yang mengikuti berlalu dalam kesedihan yang sangat menyiksa. Yanto memberitahu bahwa kedua orangtuaku datang ke kota untuk menghadiri upacara pemakaman cucu mereka, namun aku nyaris tak ingat apakah aku telah berbicara dengan mereka.
Tanpa suara tertawa Susilo, rumah kami terasa dingin, sunyi dan hampa. Aku tetap mengharapkan dia untuk pulang ke rumah dari sekolah, melempar buku-bukunya ke lantai, dan melangkah langsung ke kulkas. Kadang-kadang aku masuk ke dalam kamarnya dan membenamkan wajahku ke bantal, di mana aroma tubuhnya masih tercium. Aku memandang sekeliling dan teringat waktu-waktu memarahi dia untuk membersihkan kamarnya yang berantakan seperti kandang ayam, atau berseru kepadanya karena minum susu langsung dari dusnya. Semua itu tampaknya benar-benar tidak penting lagi sekarang.
Suamiku berusaha keras mengajak aku melupakan kehilangan kami yang begitu berat bersama-sama, namun aku selalu menolak. Aku seakan-akan berkubang sendirian dalam perasaan berdosa dan kesedihan. Aku bahkan tidak keluar dari “sangkarku” untuk menghadiri sidang pengadilan orang yang menabrak Susilo.
Para sahabat dan sanak-saudaraku menyambut gembira sidang yang mengadili pemuda tersebut sebagai pria dewasa, dan menjatuhi dia hukuman penjara yang sangat lama. Itu tidak menjadi soal bagiku. Betapa pun lamanya hukuman, hal itu tak akan bisa menghidupkan kembali anakku. Yanto akhirnya menjual Honda Tiger yang tak pernah sempat dikendarai Susilo. Tak seorang pun dari kami mampu mamandang motor itu. Memandang itu hanya akan membuat kami memikirkan apa yang dapat dan seharusnya terjadi.

Yanto mencoba sekuat tenaga untuk menghibur aku. Dia membawaku keluar untuk bersantap malam, menonton bioskop, bepergian jauh dan berwisata. Kami bahkan mulai bermain cinta lagi. Kendati aku sangat mencintai Yanto, aku harus jelas bahwa aku hanya melakukan gerakan kehidupan saja. Persahabatan dengan teman-teman lama menghilang, ketika mereka menghentikan kunjungannya. Aku merasa kaku untuk melayani mereka atau melakukan yang lain. Dalam hati, aku tak bisa meneruskan sikap seperti ini. Lebih baik aku mati ketimbang hidup dengan penderitaan seperti ini!
“Selamat Hari natal, sayang,” aku berbisik ke potret Susilo.
“Mama segera bertemu kamu.” Dengan memejamkan kedua mata aku mengangkat genggaman pil ke mulutku. Aku sadar apa yang harus kulakukan, dan aku telah siap mati.
“Jangan lakukan itu, Mama!” Sebuah suara yang sangat aku kenal menjerit ke telingaku. Itu adalah suara yang aku begitu ingin mendengarnya selama satu tahun ini.
“Susilo?” aku berbisik, menjatuhkan pil-pil ke atas lantai.

Dengan putus asa aku memandang sekeliling kamar, mencari-cari anakku. Tapi, juga tak ketemukan dari mana asal suara itu datang, aku pun terduduk lemas di atas sofa sambil menangis.
Tiba-tiba Yanto bergegas masuk ke dalam kamar. Keringat membasahi piyamanya, dan napasnya terengah-engah. Dia menatap ke bawah, ke pil-pil yang berserakan di lantai, kemudian ke wajahku.
“Berdiri,” dia mendengus, menarik tubuhku dari sofa. Kemarahan memudarkan wajahnya, dan aku bisa melihat urat-urat darah berdenyut di lehernya. Gemetar karena mendengar suara Susilo dan kemarahan Yanto, aku mencoba menerangkan. “Aku belum menelannya,” gumamku.
Yanto tak mau mendengarkan. Dia mengenakan jaketnya dan melemparkan jaketku ke bahuku.
“Aku akan membawamu ke rumah sakit,” dia berkata, tegas. Kembali, aku mencoba menjelaskan kepada Yanto bahwa aku tak punya kesempatan menelan pil-pil itu. Tak ada alasan membawaku ke rumah sakit di tengah malam buta.

“Aku tak boleh bertindak ceroboh,” Yanto menjawab.
“Aku sudah kehilangan putraku. Yah, aku tak ingin kehilangan kau juga.”
Di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku mencoba membuat Yanto memutar mobil dan membawaku kembali pulang ke rumah. Aku menjelaskan kepadanya bahwa tindakan itu benar-benar tidak berguna. Dia menatap wajahku lekat-lekat, matanya dipenuhi perasaan cinta yang tulus dan kasih sayang.
“Tidakkah kau mengerti, bahwa dirimu adalah segalanya bagiku?” dia bertanya lirih.
Tanpa mengacuhkan protesku, Yanto meminta dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh pada diriku. Dia memberikan kepada dokter segenggam pil yang aku kumpulkan, dan menerangkan kepadanya bahwa aku mungkin telah menelannya beberapa butir. Aku tetap berusaha meyakinkan dokter, aku belum menelan sebutir pil pun. Namun, dia tetap mendesak untuk memeriksaku. Dia kemudian membuang-buang waktuku dengan melakukan segala jenis tes yang seharusnya tidak diperlukan.
“Baiklah, Nyonya Budiyanto, beruntung Anda belum menelan pil-pil itu,” dia berkata, sesudah menyelesaikan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
“Jika sebaiknya Anda akan membunuh diri Anda sendiri dan bayi Anda.”
“Bayi?” aku bertanya. Kupikir aku telah salah dengar. Bagaimanapun juga, umurku sudah empat puluh tiga tahun. Aku tak mungkin bisa hamil lagi.
“Anda sedang hamil dua bulan,” dokter menjelaskan apa adanya.
“Demi keselamatan bayi Anda, maka Anda harus menjaga diri Anda secara lebih baik lagi.”
“Apa istri saya akan pulih kesehatannya dokter?” dia bertanya kepada ahli medis itu.
“Pikirannya agak tertekan, namun selain itu tubuhnya sehat wal’afiat,” dokter menjelaskan kepadanya.
“Adakah sesuatu yang bisa saya lakukan untuk dirinya?” Yanto bertanya lagi, nada suaranya dipenuhi keprihatinan. Aku ingin menunggu waktu yang untuk menjelaskan kepadanya tentang kehamilanku, namun aku merasa tidak mampu menahannya lama-lama.
“Kita akan berbahagia lagi, Pa.”
“Papa?” Yanto mengulangi. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“Dalam waktu sekitar tujuh bulan kau akan menjadi ayah lagi.”
Yanto memelukku dan mengayunkan tubuhku memutar. Aku bergantung pada tubuhnya begitu kami menangis dalam kebahagiaan. Ini merupakan rasa kebahagiaan yang pertama kali kami alami sejak kematian Susilo.
Ketika kami tiba di rumah, aku menuang secangkir kopi untuk Yanto, dan membuat segelas susu bagi diriku sendiri.
“Yanto, apakah yang membuatmu berlari-lari ke ruang duduk malam ini?” aku bertanya. Ekspresi aneh muncul di wajah suamiku.
“Aku tahu kedengarannya aneh, namun aku merasa yakin Susilo mengguncang-guncang tubuhku dan berteriak-teriak untuk membangunkan aku.”
“Tidak, sayang, itu tidak terdengar aneh.”
Lantas aku ceritakan kepadanya tentang teriakan Susilo ketika aku akan menelan pil-pil itu.
“Kupikir aku hanya sedang bermimpi,” Yanto menanggapi. Kutuangkan lagi secangkir kopi buat suamiku dan segelas susu untuk diriku sendiri.
“Mari kita ber-toast untuk keajaiban-keajaiban ini,” Yanto berkata, mengangkat gelasnya.
“Dan untuk malaikat-malaikat pelindung,” aku menimpali.
“Selamat Hari Natal, Susilo.”
Putri kami, Anita, sudah berusia empat bulan sekarang, dan ia menjadi cahaya kehidupan bagi kami. Sesudah malam ketika aku nyaris bunuh diri itu aku segera berkonsultasi dengan psikiater, yang membantu memecahkan problemku yang berkaitan dengan kematian Susilo. Tidak ada hari yang berlalu tanpa perasaan kehilangan atas diri putraku. Namun, kini aku telah mampu mengatasi rasa kesedihan itu.
Ketika aku menunduk memandangi wajah Anita yang mungil, aku tahu Susilo sedang tersenyum manis ke adiknya. Pada suatu hari, ketika ia sudah dewasa nanti aku akan menceritakan kepadanya tentang abangnya dan malam ketika dia menyelamatkan kehidupan kami berdua!

by Dewi fortuna