Dimulai dari pertama kali aku melihatnya di sekitar
rerumputan siang itu, dia begitu tenang bersama peliharaanya. Saat itu
kesendirianku terusik saat goresan lukisanku mengores beberapa lekukan wajah
seorang sahabat yang sering bernyanyi di gereja. Siang itu begitu terik, bunga
dan hamparan rumput hijauh bertaburan di sekelilingku, rasanya begitu indah,
sayang kalau aku Cuma menatap lukisan ini untuk sebuah arti persahabatan.
Dia dan peliharaanya, seekor anak anjing bernama hakico, itu
yang pertama aku tau darinya, sinar mentari membuat wajahnya begitu bersinar
memancarkan kebahgiaan yang tersirat di antara kamu.
Aku ingin melukisnya tampa mengunakan penghapus apa bisa?
Terus melukis walau salah namun di tutupi dengan kebenaran
goresan pensil. Aku terus bergumul dengan apa harus aku hapus jika terjadi
kesalahan dalam lukisanku. Wajahnya begitu indah untuk di buat kesalahan, walau
kertas ini terlalu banyak namun bisakah aku melukis tampah penghapus?
Umurku 8 tahun waktu mengikuti lomba melukis di taman Gubernur,
itulah pertama kalinya aku duduk di rumput dan mulai mengeluarkan semua
peralatanku tampa lupa mengeluarkan penghapus. Sekalipun lukisanku berjudul
pegunungan tampa melakukan kesalahan karena “ku hapus dengan penghapus begitu
rapihnya. Tapi tetap saja aku mendapat juara 2. Dan itu membuat keinginan untuk
melukis lagi hilang..
Melukis adalah keingianku, tak ada seorangpun yang dapat
melukis selain aku dan kesendirianku. Begitulah adanya. Aku selalu melukis
dengan sempurna tampa melakukan kesalahan sama seperti waktu mengikuti lomba di
SMP dan SMA namun kesempurnaanku slalu mendapatkan juara harapan. Sekalipun
kesalahan itu sudah ku hapus dengan penghapus. Namun tetap saja itu tak ada
artinya..
Bisakah aku melukis tampa penghapus? Bisakah aku fokus dan
menatap wajahnya mengamati setiap lekukan wajahnya, matanya, bibirnya, dan
bentuk telinganya hidunganya begitu indah. Aku mengaguminya bagai aku merawat
lukisanku. Aku selalu hadir setiap dia menikmati sore itu dengan peliharaannya.
Apakah bisa aku memintanya untuk aku lukis dengan tampa
penghapus? Apakah aku bisa berbicara di saat aku bersamanya, atau hanya diam
dan tak bisa berbicara sepata- kata pun, ini kah yang mananya kertas putih
bertemu dengan pensil saat suasanan sangat romantis, tak pernah berbicara namun
selalu bersama dan menghasilkan kisah dalam bentuk lukisan. Tapih apaka aku
bisa melukis tampa penghapus?
Tampat ini menjadi saksi goresanku akan sebuah arti kehidupan
baru di kota yang terasa asing buatku, aku Cuma menikmati hangatnya matahari duduk
dan melihat lepas ke ara laut, begitu cantik, aku pernah berharap ada yang
menemaniku bermain di tepi pantai walau hanya 15 menit tapi buat aku itu sangat
berarti apa bisa aku berjalan tampa harus memikirkan masa lalu, sama halnya
dengan aku melukis tampa melakukan kesalahan dan terus menghapus dan meghapus.
Atau membiarkan kesalahan dan belajar untuk menjadikan kesalahan itu suatu
karya yang indah. Dan membuat dia tersenyum saat melihat kesalahan itu.
Begitukah ceritanya aku membuatnya tersenyumnya., tapi aku sekarang begitu jauh
bermil mil dari senyumnya, apa bisa aku melukisnya tampa panghapus?
Aku berharap saat musim hujan berhenti pelangi muncul di langit
biru, dia pun datang menghampiriku dan berbincang sesuatu yang mungkin ingin
dia ceritakan, mungkin tentang nabi Nuh atau kisah kelahiran Tuhan Yesus.
Mungkin, atau dia mulai memandangiku dan beranya “…. Kamu tau aku
merindukanmu..” kalimat yang aku ingin dengar dari bibirnya namun itu mungkin
suatu harapan angin yang mungkin jarang terjadi di duniaku. Selain lukisanku
yang selalu di rindukan orang orang tak ada yang pernah ada yang merindukan si
pelukis.
Apakah aku bisa melukis tampa penghapus? Pertanyaan yang
ingin aku temukan jawabanya, bisakah aku atau tidak bisakah aku. Mengoreskan pensil
di kertas dan belajar untuk menahan segala asa agar tak melakukan kesalahan.
Seperti seorang anak yang pernah aku jumpai di gereja beberapa tahun lalu, dia
selalu berlati sebuah music klasik, hanya untuk seseorang yang dia suka, setiap
kali jari jarinya menekan tus piano di saat itu kesalahan selalau terjadi, dan
terus terulang sehinga sore pun datang dan berhasil.
Samahalnya dengan melukis, aku tidak pernah berbicara “..
aku mau melukismu..” sekalipun aku bisa mengatakanya, mungkin itu akan menjadi
beban. Aku bisa melukis saat dia pergi, dan semua kebisingan itu hilang dari
hadapanku dan yang Cuma tertingal Cuma aku dan bayanganya.
Walau itu Cuma lukisan misterius namun aku belajar untuk tak
megunakan penghapus.. aku takut hasilnya tak bagus, karena aku selalu berharap
lukisanku tak seorangpun tau, bagus atau pun jeleknya. Aku Cuma bisa
mengaguminya lewat lukisanku, dan selalu berharap tak ada penghapus lagi dalam
lembaran lembara lukisanku..
Bisakah aku melukismu? Bisakah aku melukis hatimu? Dan bisakah
aku melukismu tampa melakukan kesalahan ?
Bisakah aku melukismu tampa penghapus agar kesalahan atau
kebenaran itu bisa menjadi pelajaran untukku dana menatapmu lebih dalam lagi.
Bisakah aku bertemu kamu lagi dan cuma berkata .”.. bisakah
aku melukismu ?..”
Bisaka aku..
Bisakah aku.. walau Cuma sedetik aja melihat senyummu.
di hari ini aku cuma mau bilang. " Fin mau kah jadi seseorang buat hariku..."
di hari ini aku cuma mau bilang. " Fin mau kah jadi seseorang buat hariku..."