Nama tempat itu Hard Rock Café, di Jakarta, yang selama
bertahun-tahun sebagai warga Ibukota, saya belum pernah masuk ke
dalamnya. Ya! Karena segan dan memang tidak ada urusan yang menggiring
ke sana jadi untuk apa ke sana? Namun baru-baru ini mau tidak mau saya
harus ke sana, sebab mantan murid-murid saya dulu di Kelapa Gading
Permai-Jakarta Utara membuat acara reuni angkatannya lulusan SMA tahun
1996. Saya pun datang dan jumpa mereka, dan juga jumpa dengan
rekan-rekan Guru yang sudah mantan maupun masih mengajar di SMA itu.
Tidak ada yang istimewa dalam bayangan saya. Paling-paling
yahhh…begitu-begitu saja. Acara kangen-kangenan, cium piki-pika, teriak
histeris, becanda-becanda, bernostalgia, ingat-ingat pengalaman dihukum
Guru, minta maaf atas ulah masa lalu sebagai murid/Guru. Dan foto
bareng. Begitu saja.
Tapi, eeeiiittt…tunggu dulu, ekor mata saya
diam-diam memperhatikan sisi tertentu. Saya teringat beberapa murid
saya yang dulu bikin ulah ataupun yang prestasinya begitu-begitu saja,
wahhh…sekarang sudah dewasa, percaya diri, dan termasuk sukses dalam
bisnisnya. Termasuk yang jadi pembawa acara (MC)…ehhhh…ternyata dia
orang penting di Hard Rock Café itu….weleh-weleh…masih muda, ganteng, public speaking-nya mantap, dan kreatif serta improvisasinya spontan! Bahkan baru saja dia diwawancarai di acaraKICK ANDY-Metro
TV. Tak sangka-sangka, sebagai orang media, saya memprediksi kesuksesan
akan terus menghampiri mantan murid saya ini kelak.
Demikian
pula para Guru yang hadir, saya perhatikan, ada yang sudah berambut
putih, gemuknya bertambah, ataupun makin kecil tubuhnya, dan bahkan ada
yang warna kulitnya lebih kelam, dan hehehehe…ada yang dulu tidak
berkumis, sekarang memelihara kumis, jadi lucu! Dan saya juga menyimak
dengan serius saat Kepala sekolah, yang pertama memberi sambutan,
menyampaikan rasa bangganya, dan diakhir pidatonya beliau memberi pesan
rohani tentang penyertaan Tuhan serta tetap mengandalkan Tuhan dalam
menjalani hidup di hari-hari kemudian.
Seorang dosen saya
(di Sekolah Tinggi Teologia) sempat-sempatnya menyelipkan pesan yang
berkaitan dengan mata kuliah yang diajarkannya sore itu, agar sebuah
keluarga pun jangan menganggap enteng konsep dan praktik reuni ini.
Ketika anak-anak sudah besar dan telah beranak pula, maka berkumpulnya
keluarga besar, anak-cucu-cicit, kakek/nenek-papa/mama-kakak/adik, tentu
membawa kebahagiaan tersendiri. Berbagai sisi perjalanan hidup dari
setiap anggota keluarga besar, dapat dibagikan/diceritakan sehingga
banyak hal yang dapat direnungkan dan dipelajari dan bahkan dapat
diterapkan dalam menjalani kehidupan mendatang. Ini merupakan
“perkuliahan” gratis yang tidak ternilai biaya “kuliah”-nya.
Saya
terkesima sejenak pada kisah berkumpulnya saudara-saudara kandung Yusuf
di Mesir, ketika Yusuf sudah menjadi pejabat tinggi Mesir, itu adalah
reuni yang unik dan mendebarkan. Betapa tidak, saudara-saudara kandung
Yusuf ibarat mendatangi penjara bagi dirinya sendiri. Namun, dalam reuni
yang penuh haru-biru itu, telah terjadi kemenangan di pihak kasih.
Itulah sebuah reuni yang diawali rasa dag-dig-dug yang sangat tinggi
karena dikompori oleh rasa bersalah yang sangat tinggi pula. Tapi
diakhiri dengan rekonsiliasi yang sangat membahagiakan dan penuh berkat,
tidak ada lagi ganjalan akar pahit maupun ketakutan luar biasa. Inilah
sebuah reuni yang patut diteladani.
Hmm...saya pun pernah
menghadiri reuni SMA saya sendiri. Kami ada sekitar 600-an siswa,
angkatan yang sama tahun kelulusannya. Fakta bahwa SMA saya pada
zamannya adalah SMA favorit, tidak bisa saya hilangkan begitu saja dari
benak saya! Karena sekolah saya itu berada di pusat kota, dan termasuk
SMA “tua” sehingga saya sempat kaget ketika pertama kali memasuki
gerbangnya. Dari gerbang itu saya “melihat” sehari-hari, betapa banyak
sekali anak-anak orang kaya, pejabat, jenderal, artis, dan tokoh-tokoh
politik, disekolahkan di sini. Saya dan kawan-kawan (yang posisinya
“rakyat biasa”) haruslah beradaptasi dengansikon itu. Tidak
heran banyak mobil yang selalu menjemput mereka, dan bahkan mereka
menyetir sendiri, banyak di antara mereka yang cantik dan ganteng, dan
pintar pula. Tapi…ya…ada juga sih di antara mereka itu masuk ke
SMA tersebut karena “sejumlah uang”. Dan kelompok yang satu ini,
prestasi akademiknya tidak istimewalah. Bahkan ada seorang siswi teman
sekelas saya, duduk di bangku depan saya, dia seringkali minta contekan
maupun mengutip PR dari saya, ehhhhhh….kelak bisa masuk ke
ITB-Bandung…hm…hm…hm…tentu dengan uang pelicinlah.
Nah,
ketika kami bertemu di acara reuni SMA saya itu dengan sebagian besar
yang hadir sudah berstatus nyonya, bapaknya anak-anak, bujang lapuk (ha
ha ha ha)…saya pribadi kaget! Mendengar si anu, si itu, sudah meninggal
dunia, atau keberadaan teman tidak tahu di mana dia sekarang, tidak mau
datang reuni karena alasan tak jelas, dan sebagainya. Namun yang menjadi
catatan saya, ada beberapa di antara teman-teman itu yang dulu
“cemerlang” kini jadi biasa-biasa saja, bahkan ada yang tidak kuliah
ataupun kuliahnya tidak selesai. Ada yang dulu “cemerlang”
kecantikannya, kini sudah “redup” dan bobot badannyaajubillah.
Yahhhh…saya hanya bisa merenung.Tuhan pengendali kehidupan kita! Setiap
manusia di dunia ini, punya jalan hidup yang dapat dilakoninya dengan
perjuangan keras maupun dengan rileks saja, bahkan dengan mengalir saja.
Terserah!
Oleh sebab itu dorongan hati saya untuk menulis
hal ini tidaklah tinggi-tinggi. Paling tidak ada beberapa temuan saya
untuk direnungkan.
(1) Reuni bersama
keluarga/teman-teman/sahabat, itu ternyata diperlukan untuk membantu
kita melihat “seperti” apa kita sekarang.Teman-teman, anggota keluarga
yang telah berpencar-pencar, menjadi tolak-ukur keberadaan kita saat
ini. Dan demikian pula sebaliknya. Mereka pun dapat melihat dirinya
dengan cermin dari keberadaan kita saat ini, saat jumpa di acara reuni.
(2)
Reuni yang diadakan dalam jarak waktu yang relatif lama, sehingga
menghadirkan perenungan yang dalam terhadap perilaku yang dulu
dilakukan, pada akhirnya dapat menimbulkan sebuah “penyesalan positif”
sehingga mendorong sebuah kata “maaf” keluar dengan ketulusan hati yang
dalam. Ohhh…alangkah mahalnya harga kata “maaf” yang tulus, sekarang
ini. Bukankah, yang sering muncul saat ini adalah “maaf”
diplomasi/politik/basa-basi?
(3)Reuni yang kita hadiri
juga merupakan arena “pembelajaran” dari berbagai “ilmu/keterampilan”
yang dilakukan selama ini oleh teman-teman kita/keluarga besar kita.
Mengapa mereka sukses, mengapa mereka pernah “jatuh” akan tergali bukan
hanya pada saat reuni berlangsung, namun juga dapat terjalin komunikasi
yang berkesinambungan. Wah…betapa mahal “ilmu” yang diturunkan langsung
oleh si pelaku dibandingkan dengan membaca buku-buku atau mengikuti
kursus-kursus.
Ya! Demikianlah. Mari kita reuni! Tapi yang paling penting dari semua itu adalah ketika kita hadir padareuni yang diadakan Tuhan Yesus.
Setelah
DIA disalibkan, mati dan dikuburkan, lalu bangkit, dan akhirnya DIA
menjumpai murid-murid-Nya di sebuah rumah…ohhhh…alangkah indahnya acara reuni itu!
Di situ terbukti bahwa Dia adalah Tuhan dan Juruselamat manusia. Juga
di situ terbukti bahwa murid-murid-Nya (termasuk kita sekarang) tidak
ragu-ragu lagi imannya. Percaya sepenuh hati bahwa dia adalah Kristus.
Jadi, masih ada kesempatan bagi kita untuk hadir pada acara reuni yang
diadakan Yuhan Yesus bagi umat yang menerima dan percaya pada-Nya.
Yakni pada kedatangan-Nya untuk yang kedua kali! Ayo…pesan dan ambil
undangan-Nya dari sekarang! Dengan menunjukkan bukti iman dan kehidupan
kita yang dilandasi Firman Tuhan berikut ini; "Karena begitu
besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar