Lembayung senja yang indah
merona, sekarang sudah mulai tergantikan petang yang sebentar lagi berubah
gelap gulita. Bunyi jangkrik yang mulai terdengar, serta suhu yang mulai
berubah dingin, menemaniku dalam kejenuhan menunggu seseorang yang sangat aku cinta.
Kekasih, mungkin kata itulah yang tepat untuknya. Dia adalah seseorang yang
amat aku cintai, dia selalu ada dalam tangisan dan tawaku, serta dia selalu
memberikan pundaknya untukku bersandar dikala duka menerpaku. Sudah hampir 2
jam aku menunggunya. Rasa jenuh semakin membelengguku, mata ini seakan ingin
menutup dengan sendirinya pertanda aku dalam keadaan kantuk. Ingin sekali aku
tidur dengan selimut tebal yang menghangatkanku. Dingin ini semakin merasuk
tubuhku, membuatku merindukan pelukannya yang sudah lama tak kurasakan.
“ Jep?” terdengar seseorang
memanggilku, aku menoleh secara refleks, karena Jep adalah namaku. Saat ku
berbalik arah, ternyata seseorang yang aku tunggu telah datang, dan sekarang
tepat berada di depanku. Tanpa tunggu lama, aku langsung memeluknya.
“Aku kangen sama kamu,”
Ungkapku jujur, karena memang aku sangat merindukannya. Sudah 2 minggu aku tak
berjumpa dengan dia. Rasa rindu yang dalam ini, sudah terobati dengan pelukan
hangat yang aku rasakan sekarang.
Setelah saling menghilangkan
rasa rindu. Dia mengajakku pergi kesebuah cafe untuk sekedar minum kopi dan
bercerita tentang pengalamannya kemarin. Jujur, selama dia bercerita, aku tak
fokus mendengarnya, namun aku fokus memandangi wajahnya yang begitu sempurna.
Sungguh aku adalah pria paling beruntung yang dapat memilikinya.
“Kita pulang yuk? Udah
malam, besok kamu sekolah kan?” ajaknya setelah cukup lama hanya diam saja,
mungkin dia merasa bosan. Aku sangat menyukai sifatnya yang begitu pengertian,
dia begitu mengerti akan statusku sebagai pelajar. Ya, mungkin karena usia dia
jauh lebih tua dariku, itulah yang membuat sifat itu muncul. Mungkin usia
adalah sebuah perbedaan, tapi perbedaan itu tak pernah menjadi masalah atau
penghalang bagiku untuk mencintainya. Terlebih itulah yang membuatku semakin
mencintainya. Kedewasaannyalah yang menguatkan cintaku padanya.
Di dalam mobil, dia tak
berbicara satu katapun. Dia hanya fokus menyetir, mungkin hanya sesekali dia
menengok kearahku dengan menebarkan senyumannya yang benar-benar membuatku
meleleh bagaikan lilin yang sudah habis terbakar api. Akupun mengimbanginya
dengan berdiam diri pula, serta membalas senyumnya saat dia menoleh kearahku.
Sungguh aku sangat bahagia, sepertinya aku orang yang paling bahagia di dunia
ini. Kebahagiaan ini seakan sulit aku ungkapkan.
Akhirnya sampai juga di
rumahku,
“Aku turun ya? Aku
benar-benar senang bertemu kamu hari ini,” Kata-kata yang terlontar dari
mulutku tak dijawab olehnya, dia hanya tersenyum. Dan setelah itu, dia mencium
keningku. Aku terpejam dan tak menyangka, berpikir antara ini nyata atau
sekedar mimpi. Aku tersenyum padanya setelah ciuman itu berhenti.
“I..i lo.. Love yy .. you,”
hanya kata itu yang bisa aku keluarkan dari mulutku dengan terbata-bata. Aku
benar-benar bahagia, tak peduli aku tadi bosan menunggunya. Rasa itu sudah
terbayar dengan rasa senang yang aku rasakan sekarang.
Aku turun dari mobilnya,
dan melambaikan tanganku dengan arti sebuah tanda perpisahan. Diapun
membalasnya dengan melakukan hal yang sama denganku dan dengan tambahan
senyuman yang membuatku terpesona. Setelah mobilnya pergi, akupun langsung
bergegas masuk kerumah. Aku senyum-senyum sendiri saat berjalan, membayangkan
apa yang aku rasakan seharian tadi, bahagia. Tapi, setelah aku melewati kamar
ibuku, aku berhenti sejenak. Aku seakan mendengar suara perempuan yang tak
asing lagi, namun hingga sekarang aku belum tahu suara siapa itu. Suara itu
berasal dari kamar ibuku. Dalam hati aku bertanya pada diriku sendiri, siapa
dia?
Aku adalah anak korban
broken home, orang tuaku bercerai. Tapi dulu Ayahku masih tetap tinggal disini,
karena kami penganut Liberal. Mungkin baru 6 hari Ayahku pergi dari rumah
terkutuk ini, tanpa aku mengetahui alasannya kenapa. Aku sangat membenci ibuku,
karena penghasilannya lebih besar, dia seakan menganggap rendah Ayah. Maka dari
itu, aku lebih menyayangi ayahku. Ingin sekali aku tinggal bersamanya, tapi apa
boleh buat, hak asuh ada ditangan ibuku, aku hanya bisa mengikuti keputusan
tanpa bisa memutuskannya sendiri.
“Kring… Kringg,” sontak Aku
tersadar dalam lamunanku mendengar suara itu. Ponselku berdering sangat keras.
Aku langsung berlari ke dalam kamar, aku takut ibuku keluar dan memergokiku
yang sedang mengupingnya. Saat aku lihat, ada sebuah pesan singkat dari kontak
yang bernama “Lovely Yohanna”, aku tersenyum, itu adalah nama kekasihku yang ku
tulis dalam ponsel ini. Pesan singkat itu berisi kata, “Jangan tidur
malam-malam ya, Love you.” Aku langsung bergegas ke atas ranjang untuk segera
bertemu dengan mimpi-mimpiku, tanpa membalas pesan singkat tadi. Aku yakin tak
masalah jika aku tidak membalasnya, pasti dia berpikir kalau aku sudah tidur.
Pagi sekitar pukul 6.45,
aku terbangun mendengar seseorang berkata dengan nada berteriak atau mungkin
lebih tepatnya memaki, “Bisa masak gak sih? Saya gaji kamu mahal, tapi
masakanmu gak jauh seperti sampah,” aku yakin itu ibu, karena tidak ada
perempuan lain yang tinggal disini, karena jika Bibi, tidak mungkin dia
melakukan itu. Tanpa tunggu lama, aku turun dari kamarku yang berada dilantai 2
untuk melihat suasana di bawah yang terdengar begitu bising.
“Dasar perempuan gak tahu
malu, merasa paling benar dan paling berkuasa,” ucapku dalam hati memaki ibu.
Aku begitu membencinya, segala sesuatu tentangnya, tak ada yang aku suka
satupun. Takut emosiku naik melihat kelakuannya, aku langsung pergi ke kamar
mandi, karena aku akan berangkat ke sekolah pagi ini.
Selesai berseragam, tanpa
sarapan, aku berangkat sekolah menggunakan kendaraan pribadi yang telah ibu
sediakan beserta supirnya. Kehidupanku bisa dibilang mewah, tapi aku tak pernah
merasa bahagia akan ini. Harta bagaikan sampah yang tidak berguna, karena aku
begitu merasakan haus akan kasih sayang, bukan haus akan materi. Sebenarnya,
jarak antara rumah dan sekolahku tidak jauh, 10-15 menit ditempuh dengan
berjalan kakipun bukan sesuatu yang tidak mungkin, padahal aku menyukai itu.
Aku menyukai segala sesuatu yang sederhana, karena bagiku kesederhanaan bisa
melambangkan ketabahan seseorang.
Disekolah, aku tak punya
banyak teman, hanya ada Yoto. Dia adalah teman sebangkuku. Kemana-mana aku
selalu bersama dia. Perpustakaan, kantin, atau tempat-tempat lainnya aku selalu
bersama Yoto. Aku tipe orang tertutup, mencari teman adalah hal yang sangat
sulit bagiku. Maka dari itu, aku hanya memiliki 1 teman dekat. Sebenarnya cukup
banyak yang aku kenal, tapi hanya sebatas kenal saja, tidak lebih. Tak sedikit
pula anak-anak lain yang menjulukiku “si cupu”, mungkin karena sifatku yang
pendiam dan juga aku menggunakan kacamata sebagai alat bantu indera
penglihatanku.
Tak ada yang berkesan
hari-hariku disekolah, semuanya berlalu dengan rasa yang hambar. Pelajaran,
bagaikan hanya sekedar mampir di otakku, yang beberapa jam atau beberapa hari
pun bisa hilang atau aku melupakannya. Jam sekolah selesai, aku bersama Yoto
pergi ke gerbang, Yoto duluan pulang, karena supirnya sudah stand by, jadi Yoto
tak perlu menunggu. Jauh berbeda denganku, aku harus selalu menunggu, 5 menit,
10, menit, 20-30 menit, bahkan 1 jam aku mematung, menunggu supirku datang.
Karena ini sering terjadi, terkadang aku jalan kaki, aku tidak suka menunggu
lama, menunggu itu begitu membosankan. Dan sekarangpun aku melakukan hal ini
lagi, aku memutuskan untuk berjalan kaki, karena supirku tak datang juga, aku
tak ingin sampai tubuhku berlumut hanya untuk menunggunya.
Aku berjalan dengan ritme
sederhana, perasaanku sedang kalut, jadi dalam perjalananku, mataku tidak
fokus, terlebih seperti orang bingung yang memiliki banyak masalah.
“Tidd.. Tidd.. Tidd.,” aku
mendengar Suara klakson yang seakan memanggilku untuk menoleh ke sumber suara.
Dengan gerakan yang cukup lambat, aku berputar arah. Perasaan malas yang kurasa,
seakan sirna, Itu Kekasihku. Tanpa tunggu diperintah, aku masuk mobilnya dengan
inisiatifku sendiri.
“Kenapa jalan kaki?
Bukannya ada supir?” tanya dia dengan nada yang sangat lembut.
“Mungkin Tuhan udah
berencana mempertemukan kita hari ini, jadi supirku tidak datang,” jawabku
dengan penuh rasa bahagia.
“Kita nonton yuk? Katanya
ada film bagus minggu ini? Mau kan?” ajaknya padaku yang saat itu sedang
melamun tentangnya.
“Ah.. Gak bisa, gak bisa
nolak,” jawabku dengan nada sedikit bercanda. Dia tersenyum manis saat
mendengar jawabanku. Betapa lucunya dia, benar-benar membuat jantung ini
betdetak tak menentu.
Akhirnya kita sampai
disalah satu pusat hiburan di Ibu Kota ini. Aku turun terlebih dahulu dan pergi
menuju balkon untuk menunggu dia menyimpan mobilnya di area parkir. Mungkin tak
lebih dari 5 menit, dia sudah datang kembali. Kamipun langsung masuk ke dalam
untuk menuju ke bioskop.
Ingin sekali aku
menggandeng tangannya, tapi aku Takut dia menolak, jadi sebaiknya aku diam
saja. Sampai dibioskop, kami langsung membeli tiket, kami tak perlu memilih
film mana yang akan ditonton, karena kami datang kesini sudah dengan tujuan.
Mungkin butuh waktu sekitar 10 menit, untuk menunggu film itu diputar, dan
pintu theatre pun telah dibuka.
Film tadi begitu
mengerikan. Aku tak suka film bergenre Thriller, aku lebih suka drama. Mungkin
terkesan berlebihan bagi seorang pria, tapi menurutku genre drama lebih banyak
hal positif yang dapat kita ambil, tidak seperti seperti film tadi, lebih
banyak menyuguhkan darah-darah berceceran daripada makna film itu sendiri.
“Kamu lapar kan? Makan yuk,
aku lapar tadi belum sempat makan,” ajakannya barusan, tak bisa kutolak, sedari
tadi perutku sudah tak bisa diajak kompromi, aku sangat lapar. Maka dari itu,
aku hanya bisa menjawab dengan sangat singkat, yaitu kata “ya.”
Kami berjalan menuju sebuah
kedai yang sudah menjadi langganan kami ditempat ini. Sebuah restoran jepang
yang makannya begitu nikmat dan istimewa. Aku sudah tak sabar ingin segera
melahap sushi, teriyaki, atau makanan jepang lainnya yang membuatku begitu
keroncongan. Aku ingin sekali berjalan sembari bergandengan tangan dengannya.
Tapi aku tak berani memulainya, aku takut dia menolak, dengan terpaksa niat itu
aku urungkan.
Akhirnya kami sampai, aku
langsung mengambil tempat duduk yang kosong. Dia langsung memesan tanpa
bertanya aku mau apa, mungkin dia sudah tahu pasti seleraku, jadi tak tak perlu
repot bertanya lagi. Tak perlu menunggu lama, makanan itu datang, harumnya
begitu menggoda. Aku sudah tak sabar, perut ini begitu lapar. Aku memulainya
dengan memakan sushi, lalu teriyaki, yakiniku, dan semuanya aku lahap habis.
Mungkin terkesan rakus, tapi ya inilah aku, porsi makanku cukup banyak, tapi
tetap, bobot tubuhku masih terkontrol.
Perut sudah terisi, mata
sudah tercuci, akhirnya kami berniat pulang. Kami berjalan santai, tapi sesuatu
menghentikanku. Aku melihat ibuku bersama seorang perempuan di coffee shop.
“Siapa dia?” hatiku
bertanya-tanya. Orag orang itu terlihat muda, mungkin berstatus mahasiswa.
Lantas siapa, atau mungkin itu rekan kerjanya yang bisa jadi lebih muda dari
ibuku.
“Ttekk!! Ada apa?” jentikan
jari dia membuatku mengalihkan pandangan, aku tak mau dia tahu jika aku sedang
memperhatikan seseorang.
“Gak ada apa-apa, ayo
pulang,” ajakku sembari meraih tangannya. Diapun terlihat bingung dengan
tingkahku.
Setelah dia selesai
mengambil mobilnya, aku langsung masuk, dan kami langsung meluncur. Aku
memintanya untuk lebih mempercepat laju mobilnya, aku ingin segera sampai
kerumah, aku sudah mengantuk. Kulihat jam menunjukkan pukul 21.14, sudah
melewati jam tidurku yang biasanya pukul 20.30. Akhirnya dia menurutiku. Hingga
tak lama kemudian, sampai juga dirumahku. Lega rasanya, mata ini sudah terasa
sangat berat. Aku ingin segera membaringkan tubuh ini dan menyelimutinya untuk
mendapatkan kehangatan.
“Jangan tidur malam-malam
ya sayang, love you,” ucapnya begitu romantis, tapi aku tak menjawabnya, aku
langsung keluar mobil dan berjalan menuju pintu. Aku kecewa karena dia tidak
mencium keningku seperti waktu lalu. Rasa kantuk ini seakan sirna oleh rasa
kecewaku. Tapi tak terlalu aku pikirkan juga. Tak seharusnya aku membenci dia
hanya karena ciuman dikening. Akupun membuang rasa itu jauh-jauh.
Hari ini, rumahku terasa
sepi sekali. Bibi kemarin meminta ijin untuk pulang kampung karena anaknya
sakit. Ibuku tak tau kemana, aku tak pernah ingin tau apa yang dia lakukan,
karena menurutku tidak penting.
Setengah haru aku habiskan
menonton televisi, sungguh membosankan dihari libur ini. Saat aku ingin
beranjak dari kursi, ponselku berdering, dan aku lihat ada panggilan masuk.
Tapi, nomor itu asing, tak ada dalam kontak ponselku. Karena penasaran aku
langsung mengangkatnya,
“Hallo, ini dengan siapa?”
lalu orang itu menjawab, yang aku sambut dengan rasa senang.
“Ini ayah . Ayah sangat
merindukanmu,” aku terpaku, namun tak kusia-siakan waktu untuk meminta jika aku
ingin bertemu dengannya hari ini juga.
“Ya, ayah juga ingin
bertemu, ayah tunggu kamu di coffee shop tempat kita main dulu bertiga,” tanpa
basa-basi lagi, aku langsung berangkat saat itu juga, aku begitu merindukannya.
Aku tak sabar ingin berbagi rasa dan cerita padanya. Ku ambil mobil, dan akupun
langsung meluncur ketempat yang sudah ayah tentukan.
Saat aku sampai, aku
langsung turun dari mobilku. Disana terlihat seorang laki-laki melambaikan
tangannya. Itu ayah, seketika aku berlari, aku begitu merindukannya.
“Ayah udah lama nunggu?”
tanyaku membuka obrolan.
“Gak ko, ayah baru saja
datang,” lanjutnya menjawab pertanyaanku. Setelah aku duduk, ayah memesan
coffee kepada seorang waiter. Ayah sudah tahu apa yang aku suka, karena ini
adalah tempat favorit kami dulu saat keluargaku masih utuh. Akhirnya kami
terlibat obrolan yang sangat panjang. Aku menceritakan semua yang aku rasakan
selama tinggal dirumah tanpa ada ayah. Rasanya, segala bebanku buyar pada saat
itu tertuangkan melalui bercerita. Ayah begitu serius mendengar kata demi kata
yang terlontar dari mulutku. Hingga giliran ayah yang menceritakan tentang
kehidupannya setelah pergi dari rumah.
“Jujur , ayah sangat merasa
nyaman sekarang. Pikiran ayah selalu tenang,” aku kecewa mendengar ucapan itu,
awalnya aku berniat untuk mengajak ayah kembali ke rumah, tapi karena ayah
berkata seperti itu, dengan berat hati niat itu harus aku urungkan. Ketika aku
dalam keadaan murung berpikir tentang niat itu, aku dikejutkan dengan ucapan ayah.
“Satu hal yang harus kamu
tahu,ibumu adalah seorang Preman,” sontak aku begitu kaget dan tidak percaya.
“Ayah bercanda kan?” aku
bertanya dengan ekspresi terkejut. Lalu ayah menjawab keherananku itu,
“Tidak Jepp, itulah alasan
utama ayah pergi dari rumah, ayah begitu merasa ketakutan dengan ibumu setelah
ayah melihat dengan kepala ayah sendiri ibumu bercumbu gebukin orang orang
dengan sebila golok,” jawaban ayah semakin membuatku tak percaya. Tapi, aku
menjadi teringat ketika aku melihat ibu bersama orang orang beberapa waktu
lalu. Apakah orang orang itu yang menjadi angota geng ibuku? Entahlah, aku tak mau tahu lebih jauh,
cukup sampai disini saja kebencianku terhadap ibu semakin bertambah saja.
Akhirnya, setelah cukup lama kami terlibat obrolan, ayah pamit untuk pulang.
Dia ada urusan pekerjaan yang belum sepenuhnya dikerjakan. Akupun
mengijinkannya pamit, padahal sebenarnya aku masih ingin bersama dia. Rasanya
pertemuan ini terlalu singkat, aku ingin bercerita pada ayah tentang diriku
sebenarnya.
Dijalan pulang aku teringat
bahwa 2 hari lagi hubunganku menginjak usia 1 tahun. Dan tepat saat aku
menghentikan laju mobilku, aku melihat hiasan bertokohkan kartun favorit
pujaan hatiku. “Doraemon”,
Anime jepang yang sangat populer di seluruh dunia, banyak orang yang
menyukainya. Tapi tidak denganku, aku tak suka kartun. Hiasan itu terbuat dari
krystal, sangat indah,
kilauannya begitu menarik perhatian. Aku turun dari mobil untuk membeli hiasan
itu, aku akan menjadikannya sebagai hadiah ulang tahun hubunganku dengannya
yang tinggal 2 hari lagi.
“Ini berapa mba?” tanyaku
pada seorang perempuan penjaga toko bernamakan “Raisa Shiny Shop”.
“Rp. 750.000 ,00 de,” aku
sedikit terkejut mendengar harganya, cukup mahal harga itu untuk ukuran seorang
pelajar SMA. Tapi tanpa pikir dua kali, aku langsung membelinya. Uang tak ada
artinya lagi jika disangkut pautkan dengan rasa kasih sayang.
Aku langsung masuk mobil
untuk segera menuju rumah setelah mendapatkan barang indah ini. Aku sudah tak
sabar menunggu hari jadiku dengannya tepat 1 tahun. Sungguh tak terasa,
menjalani singasana cinta yang indah ini seakan begitu singkat. Satu tahun
bukanlah waktu yang sebentar. Banyak rintangan dalam hubunganku dengannya. Tapi
aku bersyukur sekali, Tuhan masih mempersatukan kita hingga saat ini. Tak
terasa aku terlalu larut dalam lamunanku. Aku tersenyum, begitu indahnya
perjalanan cintaku. Aku harus fokus menyetir agar cepat sampai rumah.
Sampai dirumah, aku
langsung berlari kearah pintu. Akupun masuk dan berjalan menuju ruangan pribadiku.
Saat sedang berjalan, aku melihat ibu yang sedang menonton tv diruang tengah.
Aku langsung teringat ucapan ayah tadi, rasa takut ini semakin bertambah saja
saat aku melihatnya. Tapi rasanya tak perlu aku pikirkan, apa peduliku terhadap
dia? Lalu aku menapaki anak tangga untuk menuju lantai dua, Menuju kamarku. Aku
menyimpan kado istimewa ini untuknya nanti. Ini harus dijaga baik-baik , tak
boleh sampai rusak. “Tuhan, jadikanlah lusa hari terindah bagi kami, jadikan
hari itu sebagai awal dari kehidupan cintaku yang akan berakhir bahagia kelak.
Amin.” Sebuah harapan yang benar-benar aku dambakan. Aku yakin Tuhan mendengar
do’a dari hati kecilku ini.
Pagi yang mendung. Kubuka
jendela, sepertinya matahari enggan muncul dipagi ini. Aku keluar kamar dengan
mengenakan kacamata terlebih dahulu supaya penglihatanku tidak buram. Kuambil
segelas susu yang sudah tersedia dimeja makan. “Mungkin bibi sudah pulang,”
pikirku. Kulihat keluar terlihat rintik-rintik hujan turun, tepatnya mungkin
disebut gerimis. Aku kembali menuju kamar, jujur saja aku masih mengantuk.
Kulihat jam menunjukan
pukul 06.15, sudah seharusnya aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Tapi
aku masih saja bersantai, mungkin aku bolos hari ini. Aku berinisiatif mengajak
kekasihku sekedar jalan-jalan nanti siang. Aku menelponnya, tapi ternyata dia
sedang dikantor. “Aku lagi kerja, nanti kalau sudah pulang ya,” jawabannya
membuatku murung. Aku bingung harus berbuat apa mengisi waktu kosong ini.
Akhirnya dengan terpaksa aku tidur kembali.
“Arghh… Gak bisa,” gerutuku
dalam hati. Mata ini sulit terpejam. Mungkin rasa kantukku sudah hilang. Aku
bangun dan menyalakan televisi. Channel 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan semuanya, tak ada
acara yang bagus. Semuanya membosankan. Rasa menyesal timbul, “Kenapa aku harus
bolos, mungkin disekolah gak akan sebosan ini,” penyesalan memang selalu datang
diakhir. Aku baru sadar, dari pagi aku belum makan. Pantas saja daritadi
perutku bernyanyi, mungkin ingin segera isi. Akupun berjalan menuju dapur.
Banyak sekali makanan dimeja, tanpa tunggu lama aku langsung menyantapnya.
Tanpa terasa sudah mulai
petang. Aku sudah tak sabar ingin segera pukul 00.00. Karena itu akan menjadi
hari yang membahagiakan untukku. Aku berpikir bagaimana cara membunuh waktu
agar terasa lebih singkat. Tapi ide itu tak muncul jua. Aku hanya larut dalam
kebingungan.
“Ada kiriman untukmu,
barangnya ada di depan,” seseorang berkata padaku yang pastinya membuatku
terkaget. Aku menoleh ke sumber suara, itu ibu. Tak biasanya dia berbicara
padaku. Aku teringat apa yang dia ucapkan, kiriman. Aku berlari menuju ruang
tengah. Kulihat ada sebuah kado terbungkus kertas polos warna favoritku, hijau.
Aku langsung membukannya. Mataku terbelalak melihat isi kado itu, isinya sebuah
lukisan kecil yang indah. Disana terlukis 2 orang, dan itu aku, aku dengan
kekasihku. Tak ada nama pengirim, hanya ada kertas bertuliskan “I Love You”.
Pasti ini dari kekasihku. Aku langsung berlari menuju kamar dan memajang
lukisan indah itu. Sungguh menakjubkan, gambarnya begitu mulus, terlihat
seperti nyata.
Tak kusadari ternyata ini
sudah larut malam. Tepatnya 23.58. Aku mencoba menghitung mundur untuk
memastikan tepat pukul 00.00 kekasihku menelponku. Tapi tebakanku meleset,
Ponselku bisu. Apa mungkin dia lupa hari ini? Tapi tidak mungkin, jika dia
lupa, tak mungkin dia mengirim hadiah itu padaku. Apa mungkin dia tidur?
Entahlah, aku mencoba berpikir positif saja.
Sekarang jam menunjukan
pukul 00.34. Aku berpikir bahwa dia memang sudah benar-benar tidur. Tak ada
gunanya aku menunggu lagi, dengan terpaksa aku berniat untuk tidur. Baru saja
aku memejamkan mata, aku mendengar ponselku berdering. Rasa kantuk itu sirna
seketika. Aku langsung melihat siapa yang menelponku. Tapi ternyata ini orang
asing. Nomornyapun tak ada dalam kontak ponselku. Aku malas mengangkatnya.
Dengan penuh kecewa aku menekan tombol hijau dengan artinya aku menerima
panggilan itu.
“Happy Anniversary,” aku
menitikan air mata mendengar suara lembut itu. Penantianku terasa berarti.
“Hallo, kenapa diam?” aku
tak menjawab sepatah katapun. Tapi sebelum dia berniat menutup teleponnya
karena menganggapku sudah tidur, aku berkata,
“Sebentar,” tak tahu kenapa
aku ingin sekali merekam suaranya, aku tak mau moment ini tak diabadikan.
Setelah selesai mensetting, aku mulai berkata,
“Happy Anniversary too
dear,” itulah kata yang terucap dari mulutku membuka perbincangan di malam
indah ini. Di tengah perbincangan dia benyanyi lagu favoritku.
Percayalah
Hanya diriku paling
mengerti
Kegelisahan jiwamu kasih
Dan arti kata kecewamu
Itulah sepenggal liriknya.
Meskipun dia tak memiliki suara yang merdu, tapi dia bernyanyi dari hati.
Itulah yang membuat lirik itu sampai pada hatiku. Malam ini benar-benar indah
kurasakan. Meskipun harus menunggu, tapi hasilnya memuaskan. Menunggu memang
membosankan, tapi bosan itu akan hilang jika sesuatu yang kita tunggu
berakhirkan kebahagiaan.
“Kriingg.. Kriingg..
Kriingg..,” aku dikagetkan dengan bunyi alarm yang begitu kencang. Astaga, saat
ku raih jam weker bergambarkan “Spongebob” itu menujukkan pukul 07.00. Aku
telat bangun hari ini. Sial, aku harus bolos lagi. Gara-gara perbincangan tadi
malam aku harus absen sekolah, aku harus bersiap untuk bergelut dengan rasa
jenuh seharian dirumah tanpa aktifitas yang jelas. Tapi sungguh, malam tadi
begitu indah. Aku ingat akan rekaman itu. Aku meraih ponselku yang tertidur di
atas ranjang. Lalu kuputar rekaman itu. Aku tersenyum sendiri mendengarnya.
Betapa bahagianya aku tadi malam, hingga aku tak ingin melupakan moment bersejarah
itu.
Sebentar lagi pukul 19.00,
kami akan segera melakukan makan malam romantis dengan ditemani cahaya lilin
yang temaram, atau lebih dikenal dengan sebutan “Candle Light Dinner”. Sudah
hampir 1 jam aku memilah-milih mana kemeja yang cocok denganku. Hingga akhirnya
aku dapat kemeja berwarna hijau yang cocok dengan remaja seumuranku dengan
motif yang jauh dari kesan tua.
Senangnya hatiku, tak sabar
ingin sekali berjumpa dengannya. Tak lupa aku mengambil Kado berisikan hiasan
krystal yang beberapa waktu lalu aku beli. Saat aku hendak masuk mobil,
ponselku berdering. Malas sekali menjawabnya, terlalu banyak nomor asing yang
menghubungiku. Tapi aku coba mengangkatnya,
“Hallo, dengan siapa?”
pertanyaanku langsung dijawab,
“Kami dari Rumah Sakit
Bakti Husada memberitahukan kepada anda bahwa saudari Yohana terluka para oleh
kebakaran di kantornya, dan sekarang sedang dalam keadaan Kritis,” tubuhku
bergetar dan lemas mendengar perkataan itu, dan “Brakkk..!!” Kado itu jatuh
seiring hilangnya tenaga dalam tubuhku. Mungkin pecah atau bahkan hancur, aku
tak peduli. Aku langsung masuk mobil, dan melaju dengan cepat. Tak terkendali,
aku melaju dengan kecepatan di atas rata-rata dengan keadaan berlinang air
mata. Aku tak peduli polisi, yang kupedulikan adalah nyawa, nyawa kekasihku.
Sampai dirumah sakit, aku
langsung bertanya dimana korban kebakaran yang baru saja dilarikan kerumah
sakit ini. Dan tak lama kemudian seorang suster mengantarkanku kedepan sebuah
ruangan, tepatnya ruangan operasi. Aku menunggu seorang diri dengan perasaan
yang tidak enak. Aku menangis, tak peduli orang lain melihatku. Perasaan senang
tadi yang sempat tumbuh dalam hati ini, kini entah kemana perginya. Yang aku
rasa sekarang hanyalah khawatir.
Setelah menunggu cukup
lama, akhirnya seorang dokter keluar. Dia berkata, “ serpian peahen kaca
berhasil dikeluarkan, sebentar lagi beliau akan dipindahkan.” Aku sungguh lega
mendengar ucapan itu. Rasa khawatir ini sedikit demi sedikit mulai hilang.
Kemudian seorang suster datang dan mengantarkanku ke ruangan kekasihku dirawat.
Diperjalanan suster itu bercerita,
“Saat kondisinya kritis dia
menyuruh saya menelpon anda, katanya anda orang yang paling dekat,” aku terharu
mendengar itu, dia begitu menganggapku penuh arti. Lalu aku bertanya,
“Dia kesini bersama siapa
suster, tak mungkin kan sendiri?” dengan sigap suster itu menjawab,
“Ada seorang yang
mengantarkannya, mungkin beliau seorang saksi kejadian itu,” tak terasa aku
sampai pada ruangan yang bernama “Melati”. Aku berterima kasih kepada suster
karena telah mengantarku.
Kubuka pintu, dan kulihat
dia terbaring lemas. Tak terasa air mata ini jatuh. Aku mendekatinya, lalu
kucium keningnya. Kuihat air mataku jatuh dipipinya. Aku langsung menghapus air
mata itu. Hatiku begitu sakit melihat dia dalam kondisi seperti ini. Seharusnya
malam ini menjadi malam yang indah bagi kami. Namun Tuhan berkehendak lain.
Hatiku bertanya-tanya, kenapa ada gedung kantornya terjadi kebakaran hebat.
Semoga kasus ini bisa segera diselesaikan oleh pihak yang berwajib. Karena
bagiku ini bukan hal yang sepele.
“Krekk..” Suara kecil itu
membangunkanku yang diikuti dengan silaunya sinar mentari pagi yang semakin
membukakan indera penglihatanku ini. Kulihat ternyata seorang suster yang
membukakan gorden. Ternyata ini sudah siang, baru kusadari bahwa aku tertidur
saat menunggu kekasihku siuman. “Selamat pagi,” ucap suster itu ramah seraya
keluar dari ruangan ini. Kulihat ke arah kekasihku yang kurasa tak ada
perubahan. Aku berharap dia segera siuman. Aku pergi ke toilet untuk mencuci
muka. Mataku terlihat sendu, mungkin terlalu banyak air mata yang mengalir
menemani kesedihanku. Kupakai kembali kacamataku dan berjalan menuju ranjang.
Aku mencium keningnya. Tuhan, aku sungguh menyayanginya melebihi apapun.
Perutku terasa lapar.
Akupun berniat untuk pergi membeli makanan. Namun langkahku terhenti saat aku
mendengar,
“An.. An.. Dy,” sontak aku
menoleh kebelakang, dia siuman. Aku langsung mendekat ke ranjang. Aku
meneteskan air mata. Aku bahagia.
“Ja.. Ga di.. Rimu
baik-bai..k ya?” aku terdiam mendengar itu, apa maksudnya.
“Kenapa kamu ngomong gitu?”
dia hanya diam dan memegang tanganku dengan gerakan yang lambat. Air mataku
mengalir, perasaanku tak enak. Dia mengecup tanganku, seraya berkata,
“A..ku cin..ta kam.mu..
Jee..eppp,” ucapan terbata-bata itu membuatku tak bisa membendung air mata.
“Aku juga cinta sama kamu,
sangat cinta,” aku menjawab dengan bercucuran air mata. Aku merasakan sesuatu
yang aneh. Tangannya tiba-tiba melemas dan jatuh dari genggamanku. Kulihat
matanya tertutup. Lalu kudekatkan telingaku ke hidungnya. Tuhan, dia tak
bernafas. Aku langsung berlari keluar mencari dokter. Tak butuh waktu lama
dokter itupun ada dan langsung bergegas lari keruang inap kekasihku. Aku duduk
diluar dengan perasaan yang benar-benar hancur. Aku tak mau terjadi apa-apa.
Kudengar dokter itu keluar,
“Dia sudah tak ada, dia
sudah meninggal,” aku terpaku, mulutku seakan membisu. Tuhan, ini pasti mimpi.
Aku larut dalam diam dengan air mata yang tak berhenti jatuh. Dan saat itu aku
tak sadarkan diri.
Aku terbangun disuatu
kamar. Kamar ini terasa asing. Ternyata tadi hanya mimpi. Tapi, aku mendengar
suara yang terdengar ramai. Seperti orang membaca Alkitab. Hatiku bertanya ada
apa. Akupun keluar dari kamar. Dan kulihat sesosok jenazah terbujur kaku dengan
ditutupi kain putih berada tepat diantara kerumunan orang yang sedang
melantunkan nyanyian penghiburan. Dan itu kekasihku. Ternyata ini nyata, kakiku
melemas dan aku menjatukan badanku. Lalu datang Billy, dia adik kekasihku. Dia
berkata, “Tadi kamu pingsan,” aku digandeng Billy mendekat kepada jenazah
kekasihku, Air mataku sungguh tak tertahankan. Betapa remuknya hati ini melihat
seseorang yang tercinta terkulai lemah tak bernyawa lagi. Lalu kulihat
sekeliling, tapi aku terhenti saat aku melihat seseorang yang aku kenal. Dia
kekasih ibuku, orang orang yang kulihat dulu bersama ibu. Sedang apa dia
disini.
Jenazahpun segera
dikebumikan. Namun aku tak ikut kepemakaman. Aku lebih memilih untuk pulang.
Aku diantar Billy sampai depan rumah. Dia langsung kembali lagi karena akan
mengikuti proses pemakaman. Aku masuk kerumah dengan lemas, aku tak bisa
berhenti menangis. Aku tetap berharap bahwa ini mimpi. Saat itu, kulihat ibu
begitu gelisah. Tapi aku tak memikirkannya, apa peduliku. Aku menuju kamar.
Saat aku akan menjatuhkan tubuhku, aku melihat lukisan kecil yang dulu dia
berikan kepadaku. Air mata ini kembali terjatuh, sungguh aku tak menyangka
secepat ini dia harus pergi.
Semalaman aku larut dalam
tangis. Aku ingat bahwa menangisi secara berlebihan terhadap orang yang sudah
tidak ada, hanya memberikan beban. Aku mulai mencoba tegar. Kulihat ponselku,
tak ada ucapan “Selamat Pagi” yang setiap hari aku dapatkan saat dia masih ada.
Aku kembali menangis, sungguh sulit melupakan semuanya. Hari ini aku berniat ke
pemakaman, aku ingin melihat pusara kekasihku sekaligus untuk mendo’akannya.
Aku bergegas mandi sebelum berangkat kesana.
Dari kejauhan, aku melihat
kuburan yang masih merah dengan bunga-bunga yang hampir layu. Aku mendekati
kuburan itu, dan aku lihat batu nisan itu bertuliskan nama Yohanna Mahendra.
Ketegaran yang ku dirikan dulu, seakan roboh. Aku tak bisa menahan air mataku.
Aku menjatuhkan tubuhku seraya memeluk tumpukan tanah berisikan tubuh Yohanna
yang sangat kucintai. Hatiku benar-benar sakit mengingat bahwa ibulah yang
telah membunuhnya. Aku tak peduli pakaianku kotor. Aku hanya ingin berdekatan
dengan kekasihku meskipun sudah tak nampak lagi raganya.
Sesudah air mataku bisa aku
tahan, aku berniat pulang. Hidupku sudah semakin hancur. Kehidupan keluarga
yang abstrak, kehidupan cintakupun berakhir dengan duka. Aku tak bisa menolak
perasaan ini. Aku sangat mencintai Yohanna, dia begitu berarti dalam hidupku.
Pikiranku entah kemana, padahal aku dalam keadaan menyetir. Sepanjang perjalanan,
pipiku dibanjiri air mata. Sungguh ironis kehidupanku.
Hari ini aku tak makan.
Perutku sama sekali tak terasa lapar. Menangis dan menangis yang menjadi
aktifitasku seharian ini. Tak ada lagi Yohanna, yang selalu memberikan
pundaknya untukku bersandar dibahunya. Tak ada lagi Galih, yang selalu
menghapus air mataku saat aku dirundung duka. Sungguh kosong, hidupku sangat
hampa. Hanya ada foto yang bisa aku lihat, peluk dan kucium dengan air mata
yang tak hentinya mengalir. Mungkin terlihat berlebihan, tapi ketahuilah jika
orang lain merasakan apa yang aku rasakan, mereka akan tahu arti kehancuran
yang sebenarnya.
Tiba-tiba aku teringat
rekaman saat hari jadiku dengan Yohanna tepat 1 tahun dan tepat 1 hari sebelum
dia meninggal. Aku putar rekaman itu, dan terdengarlah suara yohanna yang
begitu lembut. Aku kembali menangis. Tuhan, inikah cobaan? Kenapa tepat 1 tahun
itu, yang seharusnya menjadi hari kebahagiaanku, terasa terbalik. Hari itu
menjadi hari petaka bagiku karena harus kehilangannya. Entahlah, itu rahasia
Tuhan.
Temanku sekarang hanyalah
foto dan rekaman suara Yohanna yang setiap kali aku mendengarnya, air mataku
mengalir tanpa habis-habisnya. Aku tak tahu hidupku bagaimana nantinya. Pasti
sulit melupakan semua ini. Yang pada akhirnya hanya menangis yang bisa aku
lakukan. Dia adalah Perempuan terindah yang aku miliki. Dia membuatku yakin
dengan pilihan hidupku. Meskipun harus kusadari sekarang, bahwa tangisanku
sudah tak ada artinya lagi, karena
Yohanna tak akan pernah kembali ke pelukanku lagi.