Diadaptasi dari novel grafis berjudul sama karangan Julie Maroh, Blue is the Warmest Color
adalah film yang tidak hanya berhasil meraih Palme d'Or pada ajang
Cannes Film Festival tahun lalu namun juga berhasil mengguncang dengan
kontroversi yang muncul karena konten seksualnya yang sangat vulgar.
Selain karena kemenangannya di Cannes film ini memang banyak dibicarakan
karena adegan seks lesbian yang dilakoni oleh dua aktrisnya dimana
adegan tersebut disajikan dengan vulgar dan berlangsung selama lebih
dari tujuh menit. Beberapa cerita miring tentang perlakuan tidak
mengenakkan sutradara
Abdellatif Kechiche kepada para kru dan pemainnya juga turut mengiringi
perilisan film ini. Namun diluar segala kontroversi tersebut, Blue is the Warmest Color memang sebuah film yang begitu kuat dalam bertutur selama durasinya yang mendekati tiga jam. Menggabungkan kisah coming-of-age
tentang pencarian jati diri dengan kisah romansa erotis sesama jenis,
film ini membuktikan bahwa segala momen vulgar dan ketelanjangan yang
hadir bukan sekedar cari sensasi belaka namun merupakan sebuah aspek
substansial yang tidak bisa dipisahkan sebagai salah satu pondasi emosi
filmnya. Jika dalam novel grafisnya ada sosok Clementine, maka versi
filmnya memiliki Adele (Adele Exarchopoulos), seorang remaja SMA berusia
17 tahun.
Bersama teman-temannya Adele sering bergosip tentang para pria di
lingkungan sekolah mereka. Adele sendiri tengah memulai sebuah hubungan
dengan Thomas (Jérémie Laheurte), namun anehnya Adele tidak merasakan
adanya gejolak seperti cinta dan hasrat dalam hubungan tersebut. Suatu
hari ia dan sahabatnya yang gay, Valentin (Sandor Funtek) pergi ke
sebuah gay bar. Disanalah Adele bertemu dengan Emma (Lea Seydoux),
seorang gadis tomboy berambut biru yang dulu pernah berpapasan dengannya
di jalan. Keduanya pun mulai saling mengobrol dan rutin bertemu sekedar
untuk menghabiskan waktu bersama mengobrol di taman. Perlahan keduanya
pun mulai berpacaran dan tinggal bersama. Hari-hari mereka diisi dengan
kebahagiaan dan hasrat memuncak yang selalu tersalurkan lewat hubungan
seks yang penuh gairah. Namun memasuki paruh kedua dalam kisah kehidupan
Adele semuanya perlahan mulai berubah dimana segala kebahagiaan dan
cinta mereka mulai mendapat cobaan. Termasuk dilema yang terjadi
berkaitan dengan pencarian jati diri dan orientasi seksual dari Adele.
Jika dalam novel grafisnya warna biru terasa mencolok karena selain
rambut Emma gambar lainnya diberi warna hitam putih. Dalam versi
filmnya, sutradara
Abdellatif Kechiche melakukan hal yang mirip dengan apa yang dilakukan
oleh
Krzysztof Kieślowski dalam trilogi tiga warna miliknya, yakni sebanyak
dan sedetail mungkin memasukkan sebuah warna dalam hal ini biru pada
tiap-tiap set dan properti dalam film. Mulai dari hal besar yang nampak
jelas seperti layar LCD, kostum pemain, air laut bahkan sampai hal-hal
terkecil seperti ornamen yang terdapat pada piring dan gelas didominasi
oleh warna biru. Tentunya yang paling mencolok adalah warna biru dari
rambut Emma. Tapi ini bukan hanya style tanpa substansi, karena
tanpa sadar dengan mendominasinya warna biru penonton pun dibuat selalu
teringat pada sosok Emma dan secara tidak sadar pula mulai terikat dan
tertarik pada sosoknya. Bagaikan sebuah subliminal message film
ini mampu membuat bawah sadar penontonnya terikat dengan sosok Emma si
gadis berambut biru. Kita sebagai penonton seolah diajak merasakan
adiksi dan ketertarikan yang sama seperti yang dirasakan oleh Adele
terhadap Emma. Karena itu pada paruh kedua disaat Adele tidak lagi
berambut biru, kita juga merasakan rasa kehilangan yang sama seperti
Adele. Kita merasa bahwa Emma sudah berubah dan kita pun rindu akan
sosoknya yang lama. Inilah kenapa filmnya berjudul Blue is the Warmest Color karena selama menonton kita akan mengasosiasikan warna biru dengan segala kehangatan, romantisme dan kebahagiaan.
Durasinya mendekati tiga jam. Alurnya berjalan dengan tempo medium namun
beberapa kali muncul adegan berulang. Pergerakan dari satu momen ke
momen lain pun memakan waktu yang tidak sebentar. Berbagai hal tersebut
memang berpotensi membuat filmnya terasa melelahkan. Tapi semua itu
dilakukan dengan tujuan untuk menghadirkan segala aspek dalam kehidupan
Adele dengan sejelas dan sedetail mungkin. Paruh pertamanya bertutur
tentang Adele yang tengah kebingungan mencari jati diri berkaitan dengan
orintasi seksual miliknya. Kita diperlihatkan bahwa Adele benar-benar
melakukan pencarian dan bukan hanya dirundung kebingungan belaka. Dia
mencoba berhubungan dengan pria tapi pada akhirnya segala hasrat yang ia
cari lebih bisa terpuaskan dengan wanita. Kemudian bagaikan takdir akan
jodoh kita diperlihatkan bahwa Adele secara tidak sadar melakukan
pencarian terhadap Emma dan mereka pun akhirnya dipertemukan. Paruh
keduanya pun berjalan dengan serupa, bagaimana hubungan Emma dan Adele
mulai bermasalah dan perlahan tergerus semuanya dihadirkan setahap demi
setahap dimana tiap tahap dipaparkan dengan begitu mendetail hingga
penonton bisa benar-benar memahami isi hati dan pikiran karakternya.
Film ini tidak pernah terburu-buru berjalan, bahkan obrolan pertama
Adele dan Emma baru terjadi saat filmnya sudah berjalan lebih dari 40
menit.
Kemudian kita sampai pada adegan seksnya yang kontroversial itu.
Berjalan lebih dari tujuh menit (kabarnya versi yang diputar di Cannes
berjalan lebih dari 10 menit), adegan tersebut benar-benar disajikan
dengan vulgar, gamblang dan begitu liar. Adegan seksual yang terasa
begitu nyata bahkan disaat saya sudah tahu bahwa kedua aktrisnya memakai
vagina buatan yang ditempelkan diatas yang asli saya tetap "terbuai"
akan begitu nyatanya adegan tersebut. Tanpa ada iringan musik
sedikitpun, hanya erangan dan rintihan dua aktrisnya yang menemani tujuh
menit penuh gairah ini dan itu membuat adegannya terasa begitu jujur.
Segala hasrat, gairah dan cinta yang ada pada kedua karakternya
terpancar begitu kuat dari seks yang terjadi. Tentu saja totalitas serta
chemistry yang terjalin antara Adele Exarchopoulos dan Lea
Seydoux turut berperan besar pada keberhasilan itu. Namun apakah adegan
seks yang panjang dan vulgar ini hanya sekedar penambah bumbu erotisme?
Tentu saja tidak, karena berkat momen inilah saya dibuat merasakan
bagaiaman besarnya hasrat dan rasa cinta yang terjalin diantara Adele
dan Emma. Pada akhirnya adegan seks tersebut tidak hanya menjadi sekedar
tempelan dan pemanis belaka seperti yang banyak terjadi dalam film-film
mainstream kebanyakan dimana pemain yang berhubungan seks pun nampak tidak menikmati adegan seksnya.
Blue is the Warmest Color tidak hanya sebuah film LGBT saja karena secara keseluruhan kontennya bisa terasa universal. Ini adalah kisah coming-of-age
tentang pencarian jati diri, kisah cinta berbalut seksual yang tentu
saja dibumbui kecemburuan sebagai konfliknya. Krisis identitas yang
dialami Adele terasa begitu kuat mengiringi film ini, bahkan hingga
filmnya berakhir pun konflik tentang krisis identitas tersebut masih
terus menghantuinya. Namun jika bicara tentang LGBT, film ini juga
memperlihatkan bahwa tidak semua LGBT berasal dari keluarga yang tidak
harmonis. Lihatlah Adele dan Emma yang berasal dari keluarga hangat,
ramah dan penuh tawa. Bahkan kedua orang tua Emma menegtahui bahwa sang
puteri adalah lesbian dan tidak mempermasalahkan itu. Karena pada
akhirnya mereka tahu bahwa Emma menjalani hidupnya sebagai lesbian
dengan tetap berlandaskan rasa cinta. Blue is the Warmest Color adalah film yang begitu kuat baik dari cerita maupun dari sisi akting dan chemistry
dua aktrisnya. Lihat bagaimana keduanya terasa ebgitu jatuh cinta saat
obrolan diawal hubungan mereka,lihat bagaimana adegan seks yang penuh
gairah itu, lihat juga bagaimana momen putus yang berisikan pertengkaran
yang mengaduk-aduk emosi itu. Bukan hal mudah membuat adegan seks
lesbian yang penuh gairah dan erotisme menjadi sebuah adegan penuh
kedalaman emosional, dan Blue is the Warmest Color berhasil melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar