Kegetiran hidup menyelimuti diriku ketika aku menatap hampa
ke layar televisi. Sebuah film hitam putih, “It’s a Wonderful Life” sedang
ditayangkan. Film ini adalah salah satu film favoritku sepanjang waktu.
Menonton itu hatiku dipenuhi dengan kegembiraan dan gairah. Tapi, kini semua
ketidakmustahilan tentang malaikat pelindung dan keajaiban-keajaiban tersebut
membuat perasaanku muak.
“Di manakah malaikat pelindung putraku itu berada pada malam
hari Natal, ketika roda-roda mobil tersebut menghancurkan tubuhnya,” aku
bertanya kepada wajah-wajah riang dalam layar televisi.
Kemudian aku memandang ke atas dan bertanya dalam hati
kepada Tuhan tentang permohonan yang aku ajukan berkali-kali di sepanjang tahun
lalu. “Apa yang terjadi dengan keajaiban yang kumohonkan lewat doa-doa kepada
Tuhan, tentang keajaiban agar putraku senantiasa dikaruniai keselamatan?”
Kedamaian dan kebahagiaan. Aku tidak bisa membayangkan akan
pernah merasakan emosi-emosi itu lagi, tidak ketika putraku yang berusia tujuh
belas tahun berbaring dalam makamnya yang ditimbuni tanah basah. Sejak kematian
Susilo, aku telah berubah dari ibu dan istri yang menarik serta bahagia menjadi
bayangan diriku sebelumnya. Rambutku yang sepanjang bahu kini tampak terjurai
kusut. Kulitku yang cokelat sehat kini tampak pucat.
Aku tidak bisa meneruskan dengan cara seperti ini. Hidupku
terasa hampa, dan aku telah membuat suamiku, Yanto sengsara. Itulah kenapa pada
malam ini, malam Hari Natal, tepat satu tahun sesudah Susilo terbunuh, aku
berniat menemani putraku di alam kematian.
Bermacam-macam pil yang aku kumpulkan sepanjang minggu telah
lebih dari cukup untuk melakukan tugas itu. Aku akan segera tertidur dan ketika
aku membuka mataku nanti, aku sudah akan bersama putraku lagi, Susilo.
Air mata mengaburkan pandanganku ketika aku memegang
segenggam penuh pil dengan sebelah tangan kiriku, dan segelas air di tangan
kananku. Pikiranku melayang pada suamiku yang sedang terbaring di ranjangnya,
tertidur lelap. Dia tidak menyangka istrinya berada di ruang duduk untuk
bersiap-siap bunuh diri!
Aku sadar suamiku sangat mencintaiku, dan jauh di dalam
lubuk kesedihanku, aku pun sangat mencintai dia juga. Kendati demikian, kasih
dan sayang kami tidak mampu menghilangkan rasa sakit yang begitu hebat dalam
hatiku yang hancur berantakan. Selain itu, dia jauh lebih tabah ketimbang aku.
Dia tidak akan begitu terpengaruh seandainya aku mati, karena dia dengan cepat
akan menemukan wanita lain. Bahkan dia mungkin akan dapat memulai kehidupan
rumah tangga yang baru.
Aku teringat telah bangun sebelum fajar pada Hari Natal
tahun lalu, untuk menyelesaikan membuat roti. Dipenuhi rasa keriangan hari
libur, aku bersenandung riang mengikuti alunan-alunan lagu yang berkumandang
dari radio selagi aku masih bekerja. Aku sedang mengeluarkan kue kentang dari
oven ketika anakku dan suamiku menyelonong ke dalam dapur sekitar pukul
Sembilan. Mereka berdua telah bekerja sampai larut, menyiapkan pohon Natal pada
malam sebelumnya. Aku pun beberapa malam sudah membantu mereka.
“Selamat Hari Natal, sang penidur!” aku berseru. “Kukira
kalian berdua akan tetap molor di sepanjang hari.”
“Selamat pagi sayang,” suamiku menjawab dengan nada masih mengantuk,
mengendus udara dekat pipiku. Dia langsung menjangkau poci kopi dan menuang
secangkir untuk dirinya sendiri.
Kendati kami sudah menikah selama hampir dua puluh tahun,
pandangan atas suamiku masih tetap membuat hatiku bergairah. Beberapa kerutan terlihat
di sekitar kedua matanya dan uban tipis mulai menghiasi keningnya, namun ia
tetap pria paling tampan yang pernah aku lihat.
Susilo adalah duplikat muda ayahnya. Aku nyaris tak percaya
waktu telah berlalu sedemikian cepat. Tampaknya dia seperti sedang menghabiskan
makan di kursinya yang tinggi di depanku – seminggu yang lalu. Kini, tubuhnya
lebih tinggi ketimbang aku dan ayahnya.
“Selamat pagi, Mam,” Susilo menggumam, kemudian melayangkan
pandangan ke ayahnya.
“Bagaimana, Mama bersikap riang pada jam-jam seperti ini?”
Suamiku mengangkat bahu dan sambil menenggak kopinya lagi.
“Kau tahu bagaimana Mamamu pada hari-hari libur. Ia seperti peri yang menjelma.
Bahkan kopinya sendiri beraroma Natal,” dia akan menjawab, mengomentari
serpihan kayu manis dan panili yang aku campurkan ke dalam adukan kopi.
“Aku berani taruhan, hanya aku yang punya Mama di seluruh
dunia, yang bisa membuat kopi Natal,” Susilo berkata, tertawa-tawa. Aku
memukul-mukulkan kedua tangan ke paha, pura-pura merasa dihina.
“Kalian tahu, campuran itu akan menambah selera makan
kalian.”
“Yah, tapi kue-kue serabi yang besar mungkin akan lebih
menambah selera kami, Mama,” Susilo mengedip-ngedipkan mata pada ayahnya.
“Kedengarannya memang cocok dengan kemauanku. Bagaimana
tentang itu Ma?” Yanto bertanya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Maaf, tuan-tuan, aku
sedang kehabisan bahan-bahannya. Kalian harus menyiapkannya dulu.”
“Tidak bisa Mama, kami tidak mengharapkan jawaban seperti
itu,” Susilo bersikeras.
“Aku akan pergi ke pasar. Mama harus mulai menyiapkan kue
itu.” Susilo condong ke depan sambil mencium pipiku. “Itulah kenapa Mama selalu
menjadi wanita kesayanganku,” dia berkata, mengambil kunci mobilku.
Aku tertawa dan mengingatkannya untuk berhati-hati. Jika aku
tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku akan mencekal tangan dan
mendekapnya erat-erat tak akan pernah membiarkan pergi.
Yanto duduk di dapur dan menemani selagi aku mengaduk-aduk
adonan serabi. Kami membicarakan kejutan besar yang akan kami berikan pada
putra kami pada hari berikutnya. Kami rasanya tidak sabar menunggu untuk
melihat ekspresi wajahnya, ketika dia melihat Honda Tiger yang baru kami beli
buat dia.
“Apakah kau benar-benar yakin dia akan menyukai itu?” aku
bertanya.
“Itu motor bekas, bukan?” Yanto minum kopi lagi.
“Biarpun bekas, motor itu gagah, mulus dan kuat. Dia akan
begitu bangga.”
“Kau tak merasa sangat memanjakannya bukan?” aku bertanya.
Yanto dan aku telah mengharapkan sebuah rumah yang dipenuhi
anak-anak, namun Tuhan hanya menganugerahi seorang putra, Susilo. Dia
senantiasa menunjukkan sikap sebagai anak yang begitu baik.
“Yah, dia akan memasuki Universitas tahun depan, dan aku
ingin Natal ini menjadi waktu yang sangat khusus,” Yanto menjelaskan.
Pikiran tentang putra tunggalku pergi ke kota lain untuk
berkuliah membuat air mata memenuhi pandanganku.
“Aku tak ingin anak kita pergi jauh untuk menuntut ilmu,”
aku menggumam. Kutaruh kue serabi di atas meja dan kujatuhkan tubuhku ke dalam
kedua tangan suamiku yang terentang.
“Ngomong-ngomong tentang anak kita, kemanakah dia pergi?”
Yanto bertanya sambil memandang arlojinya. “Seharusnya dia sudah pulang
sekarang.”
“Mungkin singgah ke rumah salah seorang temannya, dan tak
ingat waktu,” aku menjawab.
Setengah jam telah berlalu, baik Yanto maupun aku mulai
merasa gelisah. Bukan sikap Susilo membuat kami menunggu-nunggu dia seperti
ini, khususnya dengan kue-kue serabi di atas wajan. Mendadak telepon bordering
dan Yanto menjangkau gagangnya.
“Itu mungkin dia,” aku berkata, mendesahkan perasaan lega.
Petunjuk waktu oven berbunyi, dan aku segera mengeluarkan
kue-kue serabiku. Aku memutar tubuh ketika mendengar Yanto menjatuhkan gagang
telepon ke atas lantai. Wajahnya nampak tegang.
“Ada apa?” aku bertanya, rasa panik mulai memenuhi dadaku.
“Yanto, apakah itu? Siapakah yang menelpon?”
“Susilo tertabrak,” dia menjawab seolah-olah tak percaya apa
yang sedang dikatakannya.
Jantungku terasa membeku dalam dada.
“Oh, tidak! Itu mungkin hanya kekeliruan saja. Dia sedang
pergi ke pasar.”
“Yang menelepon itu Pak Polisi. Mereka sedang membawa Susilo
ke RSCM,” dia menjelaskan.
Perasaan shock yang mula-mula melanda diri kami berubah
menjadi ketakutan yang sangat mencekam, ketika Yanto melanggar segala peraturan
lalu-lintas, meluncur sekencang-kencangnya melintasi kota menuju rumah sakit
pusat. Namun itu masih belum cukup cepat bagiku. Dengan diam-diam, aku berdoa
agar Susilo tidak terjadi apa-apa. Aku menatap Yanto untuk memperoleh
kepastian, namun dia pun sama-sama takutnya seperti aku.
Ketika kami akhirnya sampai di rumah sakit, aku meloncat ke
luar sebelum Yanto sempat mematikan mesin mobilnya. Kami saling bergandengan
tangan erat-erat tatkala kami melangkah cepat melintasi lapangan parkir.
“Kami sedang mencari putra kami, Susilo Budiyanto,” dengan
napas tertahan aku bertanya kepada petugas penerima di depan mejanya.
Ia menghindari pertanyaanku, memberikan beberapa lembar
formulir ke tanganku, dan memimpin kami ke ruang tunggu. Ia bilang dokter akan
berbicara dengan kami sebentar lagi.
“Apakah yang terjadi?” Yanto bertanya kepadanya.
“Apakah lukanya cukup parah.”
“Saya mohon maaf. Anda harus menunggu dan berbicara langsung
dengan dokter yang menanganinya,” ia menjawab ramah namun tegas.
Bau disinfektan dan penyakit melanda lubang hidungku ketika
kami duduk di kursi ruang tunggu yang berlapis plastik tebal. Seseorang telah
mencoba menghidupkan suasana ruangan meja yang dihiasi pohon Natal, namun bau
antiseptik masih tercium.
Yanto memisah lembar-lembar formulir, memberiku selembar
daftar pertanyaan medis, sementara dia mengisi formulir-formulir asuransi. Aku
berkonsentrasi menjawab halaman-halaman pertanyaan yang begitu banyak, ingin
pura-pura tidak memperhatikan aktivitas yang berlangsung di sekitar ruang
perawatan gawat-darurat.
Aku mencoba melihat sendiri apa yang dilakukan para dokter,
namun Yanto menahanku.
“Biarkan mereka melakukan tugasnya,” dia membujuk,
merangkulkan lengan ke bahuku yang gemetar.
Tak pernah selama hidup aku merasa demikian putus asa.
Bahkan seandainya aku diijinkan melihat Susilo, aku sadar tak ada yang bisa aku
lakukan untuk menolong dia. Ketika dia masih anak-anak, aku dapat menghilangkan
rasa sakitnya dengan ciuman atau sepotong kue. Jika sekarang hanyalah seperti
itu… aku akan hanya bisa menunggu dan berdoa.
“Tuan dan Nyonya Budiyanto?” seorang polisi bertanya ketika
dia dan rekannya melangkah ke dalam ruang tunggu. “Saya Serda Purnomo, saya
petugas pertama yang tiba di TKP.” Ekpresi suara pada wajah Serda Purnomo
membuat perutku seakan terikat kencang. Baik dia maupun rekannya saling
menghindari pandangan kami, ketika mereka menjelaskan kepada kami apa yang
telah menimpa diri Susilo.
Bayangan putraku terbaring di lantai yang dingin, berlumuran
darah, melanda pikiranku. Dia pasti sangat ketakutan. Aku berharap, akulah yang
tertabrak bukan dia, dan akan dengan senang hati akan menggantikan tempatnya
sekarang begitu dia berjuang keras mempertahankan usia mudanya.
“Kami telah menangkap penabrak itu sekitar tiga blok dari
toko tersebut,” polisi yang lain menambahkan. Pada point ini, aku tidak ambil
pusing polisi berhasil atau tidak menangkap penabrak anaknya itu. Perhatianku
hanya terpusat pada keselamatan putraku.
“Anda melihat Susilo sebelum mereka membawanya ke rumah
sakit,” aku bertanya, suaraku sangat parau hingga nyaris hanya terdengar
sebagai bisikan.
“Bagaimana keadaan, Anda?”
Kedua polisi itu saling bertukar pandangan sedih, dan
rasanya berabad-abad sebelum Serda Purnomo menjawab.
“Jantung putra Anda berhenti berdenyut dua kali, dan dia
harus disadarkan dua kali sebelum mereka memasukkannya ke dalam ambulans. Dia
masih hidup tapi tampaknya…”
Sedu-sedan mengguncang tubuhku ketika aku menjatuhkan diri
ke dalam pelukan Yanto yang kuat. Putraku telah meninggal, dan aku tak mampu
berbuat apa-apa. Aku bahkan tidak boleh mendekati dia, memegang tangannya, dan
membiarkan dia tahu mamanya sangat mencintainya.
Satu jam telah lewat, sebelum dokter muncul keluar untuk
berbicara dengan kami. Wajahnya tampak letih dan sedih, bahunya merosot ke
depan dalam sikap pasrah. Yanto dan aku bergegas mendekati, ingin mendengar
tentang keadaan putra kami.
“Saya mohon maaf, Tuan dan Nyonya Budiyanto. Susilo tidak
mampu bertahan. Kami sudah berusaha semampu kami, namun dia terlampau banyak
mengeluarkan darah.”
“Tidak… Tidak… tidak…” aku berbisik, menggeleng-gelengkan
kepala dalam ketidakpercayaan. Aku telah berdoa begitu khusyuk. Aku sadar Tuhan
tidak akan membiarkan putra kesayanganku mati, tidak pada Hari Natal.
Wajah tampan Yanto tampak lebih tua dua puluh tahun tatkala
dia mendengar berita itu. “Saya yakin Anda telah berusaha semampu Dokter,” dia
menggumam.
Ketabahan tipis yang menahan kewarasan pikiranku terasa
sirna. Dokter menyatakan keliru atau telah berbohong. Putraku, yang sangat
sehat dan penuh gairah hidup tadi pagi, kini telah tiada. Aku tahu Tuhan tidak
membiarkannya hidup dua kali hanya untuk kemudian membiarkannya mati. Ini pasti
hanya sejenis gurauan yang tidak lucu, kejam, pikiranku yang tidak logis
mengatakan. Para remaja tidak akan mati di hadapan orangtua mereka. Aku akan
menyelidiki dasar kekacauan ini.
“Jangan percaya dia, Yanto. Dia bohong!” aku berteriak
histeris.
“Aku ingin melihat putraku. Sekarang juga!”
“Saya kira itu bukan gagasan baik, Nyonya Budyanto,” dokter
menanggapi. Kemudian dia memandang Yanto.
“Saya kira akan lebih baik jika saya memberi obat penenang
kepada istri Anda.”
“Saya tak ingin obat penenang!” aku berseru.
“Saya ingin melihat anak saya, dan tak ada yang bisa untuk
menghalangi saya.” Aku berjalan ke arah ruang pemeriksaan. Aku harus
menghentikan kekacauan ini. Susilo sudah mati. Kami telah membelikan dia sepeda
motor sebagai hadiah Natal.
Ketika aku mendorong pintu ruang pemeriksaan, seorang
perawat sedang mematikan mesin-mesin dan melepas kaitan slang-slang dari tubuh
yang tidak bergerak di atas usungan. “Ya Tuhan, pastikan mereka telah salah
bicara,” aku berbisik ketika aku melangkah perlahan ke arah usungan. Yanto
memelukku dari belakang.
“Mama, kuminta jangan kau lakukan ini,” dia berkata serak.
Aku melepaskan diri dari dia dan melangkah ke usungan. Aku
memandang ke bawah, dan impianku yang terburuk menjadi kenyataan. Di bawah
darah, luka-luka memar, dan slang-slang, wajah Susilo yang tak bernyawa
membalas pandanganku. Tanpa ditahan pelukan Yanto yang kuat, tubuhku pasti
sudah roboh, pingsan. Semua itu benar! Putra kesayanganku, yang hidup penuh
gairah tadi pagi, telah mati.
Aku membungkuk dan memegang tangan Susilo. Aku tak tahu
sudah berapa lama aku berdiri di sana, memeluknya, memandangi dia. Aku hanya
ingat, tidak akan membiarkannya pergi, sampai kehangatan tubuhnya
perlahan-lahan hilang.
—
“Semua ini kesalahanku,” aku bilang kepada Yanto dalam
perjalanan pulang.
“Kau ngomong apa?”
“Aku ibu rumah tangga. Adalah tugasku untuk menyediakan
bahan-bahan makanan,” aku menangis terisak-isak.
“Seharusnya aku sendiri yang membeli bahan-bahan itu. Dengan
begitu Susilo masih tetap hidup.”
Yanto menghentikan mobil di pinggir jalan. Airmata meleleh
turun ke wajahnya ketika dia menarik tubuhku. “Mama, kau istri yang baik, dan
kau ibu yang mengagumkan bagi putra kita. Semua ini bukan kesalahanmu. Itu
hanya telah terjadi, sudah nasib kita. Dan aku sudah tahu kenapa.”
Penderitaan pada upacara pemakaman dan minggu-minggu yang
mengikuti berlalu dalam kesedihan yang sangat menyiksa. Yanto memberitahu bahwa
kedua orangtuaku datang ke kota untuk menghadiri upacara pemakaman cucu mereka,
namun aku nyaris tak ingat apakah aku telah berbicara dengan mereka.
Tanpa suara tertawa Susilo, rumah kami terasa dingin, sunyi
dan hampa. Aku tetap mengharapkan dia untuk pulang ke rumah dari sekolah,
melempar buku-bukunya ke lantai, dan melangkah langsung ke kulkas.
Kadang-kadang aku masuk ke dalam kamarnya dan membenamkan wajahku ke bantal, di
mana aroma tubuhnya masih tercium. Aku memandang sekeliling dan teringat
waktu-waktu memarahi dia untuk membersihkan kamarnya yang berantakan seperti
kandang ayam, atau berseru kepadanya karena minum susu langsung dari dusnya.
Semua itu tampaknya benar-benar tidak penting lagi sekarang.
Suamiku berusaha keras mengajak aku melupakan kehilangan
kami yang begitu berat bersama-sama, namun aku selalu menolak. Aku seakan-akan
berkubang sendirian dalam perasaan berdosa dan kesedihan. Aku bahkan tidak
keluar dari “sangkarku” untuk menghadiri sidang pengadilan orang yang menabrak
Susilo.
Para sahabat dan sanak-saudaraku menyambut gembira sidang
yang mengadili pemuda tersebut sebagai pria dewasa, dan menjatuhi dia hukuman
penjara yang sangat lama. Itu tidak menjadi soal bagiku. Betapa pun lamanya
hukuman, hal itu tak akan bisa menghidupkan kembali anakku. Yanto akhirnya
menjual Honda Tiger yang tak pernah sempat dikendarai Susilo. Tak seorang pun
dari kami mampu mamandang motor itu. Memandang itu hanya akan membuat kami
memikirkan apa yang dapat dan seharusnya terjadi.
Yanto mencoba sekuat tenaga untuk menghibur aku. Dia
membawaku keluar untuk bersantap malam, menonton bioskop, bepergian jauh dan
berwisata. Kami bahkan mulai bermain cinta lagi. Kendati aku sangat mencintai
Yanto, aku harus jelas bahwa aku hanya melakukan gerakan kehidupan saja.
Persahabatan dengan teman-teman lama menghilang, ketika mereka menghentikan
kunjungannya. Aku merasa kaku untuk melayani mereka atau melakukan yang lain. Dalam
hati, aku tak bisa meneruskan sikap seperti ini. Lebih baik aku mati ketimbang
hidup dengan penderitaan seperti ini!
“Selamat Hari natal, sayang,” aku berbisik ke potret Susilo.
“Mama segera bertemu kamu.” Dengan memejamkan kedua mata aku
mengangkat genggaman pil ke mulutku. Aku sadar apa yang harus kulakukan, dan
aku telah siap mati.
“Jangan lakukan itu, Mama!” Sebuah suara yang sangat aku
kenal menjerit ke telingaku. Itu adalah suara yang aku begitu ingin
mendengarnya selama satu tahun ini.
“Susilo?” aku berbisik, menjatuhkan pil-pil ke atas lantai.
Dengan putus asa aku memandang sekeliling kamar,
mencari-cari anakku. Tapi, juga tak ketemukan dari mana asal suara itu datang,
aku pun terduduk lemas di atas sofa sambil menangis.
Tiba-tiba Yanto bergegas masuk ke dalam kamar. Keringat
membasahi piyamanya, dan napasnya terengah-engah. Dia menatap ke bawah, ke
pil-pil yang berserakan di lantai, kemudian ke wajahku.
“Berdiri,” dia mendengus, menarik tubuhku dari sofa.
Kemarahan memudarkan wajahnya, dan aku bisa melihat urat-urat darah berdenyut
di lehernya. Gemetar karena mendengar suara Susilo dan kemarahan Yanto, aku
mencoba menerangkan. “Aku belum menelannya,” gumamku.
Yanto tak mau mendengarkan. Dia mengenakan jaketnya dan
melemparkan jaketku ke bahuku.
“Aku akan membawamu ke rumah sakit,” dia berkata, tegas.
Kembali, aku mencoba menjelaskan kepada Yanto bahwa aku tak punya kesempatan
menelan pil-pil itu. Tak ada alasan membawaku ke rumah sakit di tengah malam
buta.
“Aku tak boleh bertindak ceroboh,” Yanto menjawab.
“Aku sudah kehilangan putraku. Yah, aku tak ingin kehilangan
kau juga.”
Di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku mencoba membuat
Yanto memutar mobil dan membawaku kembali pulang ke rumah. Aku menjelaskan
kepadanya bahwa tindakan itu benar-benar tidak berguna. Dia menatap wajahku
lekat-lekat, matanya dipenuhi perasaan cinta yang tulus dan kasih sayang.
“Tidakkah kau mengerti, bahwa dirimu adalah segalanya
bagiku?” dia bertanya lirih.
Tanpa mengacuhkan protesku, Yanto meminta dokter melakukan
pemeriksaan menyeluruh pada diriku. Dia memberikan kepada dokter segenggam pil
yang aku kumpulkan, dan menerangkan kepadanya bahwa aku mungkin telah
menelannya beberapa butir. Aku tetap berusaha meyakinkan dokter, aku belum
menelan sebutir pil pun. Namun, dia tetap mendesak untuk memeriksaku. Dia
kemudian membuang-buang waktuku dengan melakukan segala jenis tes yang
seharusnya tidak diperlukan.
“Baiklah, Nyonya Budiyanto, beruntung Anda belum menelan
pil-pil itu,” dia berkata, sesudah menyelesaikan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh.
“Jika sebaiknya Anda akan membunuh diri Anda sendiri dan
bayi Anda.”
“Bayi?” aku bertanya. Kupikir aku telah salah dengar.
Bagaimanapun juga, umurku sudah empat puluh tiga tahun. Aku tak mungkin bisa
hamil lagi.
“Anda sedang hamil dua bulan,” dokter menjelaskan apa
adanya.
“Demi keselamatan bayi Anda, maka Anda harus menjaga diri
Anda secara lebih baik lagi.”
“Apa istri saya akan pulih kesehatannya dokter?” dia
bertanya kepada ahli medis itu.
“Pikirannya agak tertekan, namun selain itu tubuhnya sehat
wal’afiat,” dokter menjelaskan kepadanya.
“Adakah sesuatu yang bisa saya lakukan untuk dirinya?” Yanto
bertanya lagi, nada suaranya dipenuhi keprihatinan. Aku ingin menunggu waktu
yang untuk menjelaskan kepadanya tentang kehamilanku, namun aku merasa tidak
mampu menahannya lama-lama.
“Kita akan berbahagia lagi, Pa.”
“Papa?” Yanto mengulangi. Aku hanya tersenyum dan
mengangguk.
“Dalam waktu sekitar tujuh bulan kau akan menjadi ayah
lagi.”
Yanto memelukku dan mengayunkan tubuhku memutar. Aku
bergantung pada tubuhnya begitu kami menangis dalam kebahagiaan. Ini merupakan
rasa kebahagiaan yang pertama kali kami alami sejak kematian Susilo.
Ketika kami tiba di rumah, aku menuang secangkir kopi untuk
Yanto, dan membuat segelas susu bagi diriku sendiri.
“Yanto, apakah yang membuatmu berlari-lari ke ruang duduk
malam ini?” aku bertanya. Ekspresi aneh muncul di wajah suamiku.
“Aku tahu kedengarannya aneh, namun aku merasa yakin Susilo
mengguncang-guncang tubuhku dan berteriak-teriak untuk membangunkan aku.”
“Tidak, sayang, itu tidak terdengar aneh.”
Lantas aku ceritakan kepadanya tentang teriakan Susilo
ketika aku akan menelan pil-pil itu.
“Kupikir aku hanya sedang bermimpi,” Yanto menanggapi.
Kutuangkan lagi secangkir kopi buat suamiku dan segelas susu untuk diriku
sendiri.
“Mari kita ber-toast untuk keajaiban-keajaiban ini,” Yanto
berkata, mengangkat gelasnya.
“Dan untuk malaikat-malaikat pelindung,” aku menimpali.
“Selamat Hari Natal, Susilo.”
—
Putri kami, Anita, sudah berusia empat bulan sekarang, dan
ia menjadi cahaya kehidupan bagi kami. Sesudah malam ketika aku nyaris bunuh
diri itu aku segera berkonsultasi dengan psikiater, yang membantu memecahkan
problemku yang berkaitan dengan kematian Susilo. Tidak ada hari yang berlalu
tanpa perasaan kehilangan atas diri putraku. Namun, kini aku telah mampu
mengatasi rasa kesedihan itu.
Ketika aku menunduk memandangi wajah Anita yang mungil, aku
tahu Susilo sedang tersenyum manis ke adiknya. Pada suatu hari, ketika ia sudah
dewasa nanti aku akan menceritakan kepadanya tentang abangnya dan malam ketika
dia menyelamatkan kehidupan kami berdua!
by Dewi fortuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar