Berbicara tentang kemacetan di Jakarta sebagai
megapolitannya Republik Indonesia mungkin bukanlah merupakan hal yang baru di
telinga kita bahkan saya sendiri tidak habis pikir sampai kapan orang akan
terus membicarakan mengenai permasalahan khas yang satu ini. Jakarta yang
merupakan magnit bagi banyak masyarakat untuk mengadu nasib dalam mencari
nafkah atau rizki sudah merupakan alasan yang sangat kuat tingginya jumlah
penduduk di kota yang disebut daerah khusus ibukota ini yang kemudian secara
tidak langsung akan membuat Jakarta kian padat dan sesak. Oleh karena itu dalam
tulisan kali ini saya hendak mencoba berbicara atau sekedar ebrpendpat tentang
faktor faktor yang memiliki sumbangsih terhadap kemacetan di jakarta.
POPULASI DAN JUMLAH KENDARAAN
Tidak dapat dipungkiri, jumlah populasi merupakan faktor
yang sangat signifikan dalam menentukan kepadatan penduduk dalam suatu wilayah.
Oleh karena Jakarta dianggap oleh sebagian besar masyarakat merupakan kota yang
memiliki siklus perekonomian yang tinggi dan memiliki imbalan janji atas
penghasilan yang lebih apabila dibandingkan dengan daerah lain, maka banyak
kemudian masyarakat yang berbondong-nondong datang dan menetap di Jakarta. Pola
urbanisasi yang sangat tidak terkontrol dan pola pertumbuhan penduduk yang
sulit dikendalikan menjadikan Jakarta kian hari kian sesak. Berdasarkan data
dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jakarta, pada tahun 2011 dengan luas
Provinsi D.K.I Jakarta sebesar 661,52 km² jumlah penduduk di Jakarta mencapai
angka 10.187.595 jiwa sumber: http://jakarta.bps.go.id/flip/jda2012/index.html
Dapat kita lihat fenomena pada saat angkutan-angkutan
transportasi dari luar Jakarta datang ke Jakarta pasti akan memunculkan
wajah-wajah baru yang dipastikan akan menjadi penduduk di Jakarta. Dengan jumlah
populasi yang kian membesar maka otomatis faktor-faktor yang lain seperti
perumahan, alat transportasi akan meningkat. Kalau digambarkan dalam bentuk
garis maka hubungan antara populasi dan perumahan serta alat transportasi
adalah berbanding lurus. Dengan peningkatan tersebut tentu saja kian banyak
moda transportasi (pribadi) yang bermunculan di Jakarta.
Pada tahun 2010 saja jumlah kendaraan bermotor bedasarkan
data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jakarta mecapai 11.997.519 yang
terdiri dari 8.764.130 sepeda motor, 2.334.883 mobil penumpang, 565.727 mobil
beban, dan bus sebesar 332.779.
Tentu saja dapat dibayangkan bagaimana dengan luas wilayah
Jakarta yang tetap namun tingkat populasi bertambah kian banyak yang diikuti
dengan peningkatan jumlah kendaraan.
PERTUMBUHAN JALAN RAYA
Sudah dapat dipastikan faktor pertumbuhan jalan raya
merupakan faktor yang bersifat statis sebenarnya namun secara sistem
berpengaruh terhadap kemacetan di Jakarta. Sudah tidak dapat dipungkiri dengan
luas wilayah Jakarta yang statis tentu saja tidak mudah untuk melakukan
penambahan lebar jalan atau ruas jalan. Karena tidak semua wilayah dapat
dijadikan jalan raya mengingat jumlah populasi yang besar juga serta merta akan
membutuhkan hunian yang akan menggunakan lahan di wilayah Jakarta. Bukan hunian
saja, melainkan sarana umum (non jalan), bangunan pemerintahan, bangunan sentra
bisnis dan industri akan berebut dalam pemanfaatan lahan. Sehingga secara tidak
sengaja (atau sebetulnya disengaja) penyediaan ruas jalan atau lebar jalan
menjadi hal yang sangat sulit dilakukan. Tidak asing pula bahwa seringkali
pengguna jalan raya harus menyerobot dengan cara naik trotoar, atau melawan
arah (untuk menghindari kemacetan, padahal akan menimbulkan kemacetan baru)
TRANSPORTASI UMUM
Nah kalau berbicara tentang faktor yang satu ini mungkin
tidak terlepas dari pengetahuan kita bagaimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
jor jor an untuk menciptakan suatu moda transportasi umum yang dapat memecahkan
solusi kecametan di Jakarta. Sudah tidak asing bukan mendengar istilah KRL,
Busway, dan yang pernah ada Monorail dan Waterway (meskipun akhirnya mangkrak
tidak jelas). Namun lagi-lagi meskipun transportasi umum tersebut memang dapat
mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta namun sampai saat ini menurut saya hal
itu belum cukup untuk kemudian dibandingkan dengan negara asal yang diadopsi
oleh Pemerintah Ibukota. Masih terdapatnya KRL yang mogok atau terlambat, jalur
busway yang tidak steril yang menyebabkan busway tidak dapat datang sesuai
jadwal karena harus berdesak-desakan pula dengan kendaraan pribadi yang
lainnya. Itu apabila kita berbicara dengan transportasi yang disediakan oleh
pemerintah. Kalau kemudian kita menilik pada kondisi sarana trasportasi umum
yang disediakan oleh pihak swasta mungkin kita juga akan lebih miris lagi.
Banyak angkutan umum yang menyerobot jalur, ugal-ugalan, ngetem dan disisi
kesehatan asap sisa pembakaran mereka saya rasa berada di bawah nilai standar
yang ditetapkan. Pada dasarnya apabila transportasi umum tesebut dapat memenuhi
kriteria aman dan nyaman (nyaman dalam hal ini sangat relatif) maka diharapkan
masyarakat yang menggunakan transportasi pribadi berpindah ke transportasi
umum.
POLA PIKIR MASYARAKAT
Berbicara tentang pola pikir tentu saja hal tersebut
berhubungan dengan masing-masing individu. Kesadaran masyarakat terhadap
peraturan lalu lintas yang kemudian justru akan membahayakan terhadap diri
sendiri dan pengguna jalan lain bahkan dampak panjangnya adalah akan
menciptakan kemacetan lalu lintas. Hal tersebut dapat dilihat ketika banyak
pengendara motor saling serobot jalur, melawan arah, tidak menaati rambu-rambu
lalu lintas, dan masih banyak lagi. Sikap-sikap yang kemudian harusnya muncul
dari kepribadian masing-masing pengguna jalan raya inilah yang kemudian sebenarnya
harus digali agar masyarakat sadar dan peduli akan kondisi jalan raya di
Ibukota sendiri. Selain itu, kepemilikan kendaraan bermotor yang berlebihan
(meskipun sebenarnya hal tersebut tidak dilarang) juga menyebabkan jalanan
Jakarta ini makin sesak. Coba saja bayangkan apabila dalam satu rumah tangga
beranggotakan 5 orang dan kelima-limanya keluar rumah dengan menggunakan kelima
mobil tersebut (satu mobil satu penumpang). Itu baru satu rumah tangga,
bayangkan dengan jumlah penduduk di Jakarta apabila satu orang mengendarai satu
kendaraan bermotor. Hal inilah yang kemudian mengilhami para birokrat untuk
memunculkan kebijakan tentang 3in1 dan pajak progresif atas kepemilikan
kendaraan bermotor.
PENEGAKAN HUKUM
Penegakan hukum sebenarnya dapat dijadikan kendali atas
segala permasalahan yang ada di jalan raya. Sudah banyak aturan-aturan yang
kita dengar merupakan metode yang digunakan oleh pemerintah untuk mengendalikan
kemacetan di Jakarta. 3in1, sterilisasi jalur busway, pengenaan pajak progresif
atas kepemilikan kendaraan bermotor, ERP (untuk yang ini saya belum mengetahui
perkembangannya). Pada dasarnya peraturan-peraturan tersebut amatlah baik dalam
upaya pengendalian kemacetan di Jakarta. Namun, sayangnya pengguna jalan
memiliki cara tersendiri untuk menghindari atau mengakali peraturan tersebut.
Sebutlah Joki, menggunakan nama orang lain untuk kendaraan yang dimiliki,
serobot jalur busway. Sudah menjadi pemandangan umum di jalanan Ibukota terjadi
praktek-praktek yang sebenarnya akan kembali memicu kemacetan di Jakarta.
Petugas penegak hukum sebenarnya juga sudah melakukan penegakan terhadap
peraturan tersebut, namun lagi-lagi karena lihainya para pengguna jalan membuat
para aparatur penegak hukum tiada memiliki daya penuh dalam melakukan pengendalian,
(dalam beberapa kasus memang justru terjadi aparatur negara yang melanggar
peraturan-peraturan tersebut dengan menggunakan alasan yang birokratis).
Sehingga dapat dikatakan bahwa penegakan hukum menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan kemacetan di Ibukota ini.
SIKAP PEMERINTAH
Faktor yang satu ini saya temaptkan di bagian akhir bukan
berarti faktor ini yang memiliki sumbangsih kecil terhadap kemacetan di
Jakarta. Ketegasan pemerintah dalam melahirkan kebijakan sangat dibutuhkan
sehingga dapat terwujud konsistensi dalam penerapannya. Seringkali dengan
alasan finansial atau anggara kebijakan pemerintah dapat di liyukke dalam
rangka penyesuaian dengan kondisi yang ada (istilahnya sih gitu
"penyesuaian"). Selain itu aspek kepentingan juga sangat kencatl dalam
proses melahirkan kebijaka-kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan
publik. Coba bagaimana apabila anda sekalian dipertemukan antara kepentingan
individu vs kepentingan umum. Pasti anda akan mengalami proses bimbang dan ragu
(apalagi hal itu menyangkut makan keluarga atau uang saku). Hal itulah yang
kemudian menimbulkan kepentingan individu atau golongan (dengan alih-alih
memperoleh manfaat yang lebih tinggi) lebih diutamakan daripada kepentingan
publik yang notabene tidak menciptakan manfaat secara ekonomi (dalam jangka
pendek).
Faktor faktor tersebut yang menurut saya memiliki sumbangsih
terhadap kemacetan di Ibukota ini. Tentu saja dengan melihat faktor-faktor
tersebut saya mencoba berbicara/berpendapat terkait permasalahan pada
faktor-faktor di atas. Pendapat saya antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pengendalian jumlah populasi (dengan mengintensifkan
program keluarga berencana yang dulu sempat menjadi program utama pemerintah
pada masa orde baru)
2. Pengendalian terhadap jumlah urbanisasi (meski sekarang
pemerintah juga sudah jor-jor an dalam melakukan pengendalian ini, namun saya
rasa pemerintah harus lebih maksimal dalam melakukan pengendalian terhadap kaum
urban)
3. Memisahkan antara sentra bisnis dengan sentra
pemerintahan (hal ini sudah pernah mengemuka tapi entahlah bagaimana proses
selanjutnya)
4. Pembuatan jalan layang (apabila dimungkinkan dapat dibuat
lima tingkat, karena saya bukan ahli teknik sipil maka saya tidak tahu apakah
hal ini bisa diterapkan di Jakarta)
5. Menaikkan nilai pajak untuk kendaraan pribadi dan tarif
parkir (meskipun dalam jangka pendek saya tahu hal ini akan menimbulkan inflasi
yang mungkin sangat berdampak terhadap perekonomian, tapi dalam jangka panjang
saya rasa hal tersebut dapat berdampak positif).
6. Meningkatkan pelayanan transportasi umum (dengan
pengenaan pajak yang tinggi terhadap kendaraan pribadi dan biaya parkir yang
tinggi, hasil dari pungutan tersebut dapat digunakan untuk penataan
transportasi umum).
7. Pembatasan jumlah produksi kendaraan bermotor (nah
disinilah pemerintah sangat berperan dalam nenentukan kebijakan. Seperti yang
sudah saya sebutkan sebelumnya bahwa kebijakan kebijakan pemerintah harus
memihak terhadap kepentingan umum bukanlah manfaat ekonomi jangka pendek. Memang
benar dengan pembatasan jumlah produksi kendaraan bermotor akan menimbulkan
dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian di Jakarta, bahkan di
Indonesia. Investor akan hengkang dari Indonesia, penurunan PAD bahkan
penerimaan negara, kenaikan harga yang akan menyebabkan inflasi. Tapi coba
dipikir, apabila jumlah produksi tidak dikontrol dan pertumbuhan jumlah
kendaraan menjadi sangat liar. Kemacetan bertambah parah dan akan terjadi
stagnanisasi proses ekonomi (yang meliputi produksi, dan distribusi barang
ekonomi) yang mengakibatkan adanya ekonomi biaya tinggi. Dengan adanya ekonomi
biaya tinggi tersebut, tentu saja investor juga akan mempertimbangkan kembali
untuk melakukan investasi di Indonesia bukan?
Nah mungkin itulah pembicaraan atau pendapat saya tentang
kemacetan di Jakarta. Saya memang bukan siapa-siapa tapi saya hanya ingin
Jakarta ini bebas kemacetan dan masyarakatnya semakin memiliki kepedulian
terhadap kota yang diberikan gelar kota Megapolitan bahkan kota modern. Tidak
lucu bukan apabila banyak mobil sport di kota modern hanya dapat melaju dengan
kecepatan di bawah 20 km/jam. Atau di kota modern namun kita harus menempuh
jarak 2km dalam waktu 2 jam bahkan lebih. Kota modern macam apa itu?