Jumat, 21 Oktober 2011

Ada Rahasia Cinta di Sudut Gerejaku


Rasanya jatuh cinta emang sudah jadi hal yang alami buat semua manusia, bahkan hewan juga mengalami jatuh cinta. Tapi, mengapa harus begini jadinya? Berulang kali aku mengutuki diri sendiri, aku kapok jatuh cinta dan berharap semoga ini jatuh cinta yang terakhir. Nggak mau lagi bermain cinta. Bagiku jatuh cinta membuat hidup jadi nggak keruan. Perhatianku terpecah-pecah, sementara hidup kan nggak cuma buat mikirin cinta yang jatuh itu. Selain itu, rasanya sia-sia aja kalau ngabisin waktu cuma buat mikirin si dia, padahal belum tentu juga dia mikirin aku. Aku kapok jatuh cinta.

Aku, seorang Guru sekolah minggu yang berusaha keras mempertahankan panggilan ini. Jangan sampai digondhol siapa-siapa. Cita-citaku ini sudah ada sejak gagal masuk sekolah teologia untuk jadi Pendeta dan harus aku pertahankan, batinku. Tapi, sekeras apapun aku berjuang, jika udah menyangkut sama yang namanya jatuh cinta, tetap saja jadinya klepek-klepek. Awalnya memang ingin aku tolak, kenapa mesti jatuh cinta? Kenapa setiap manusia mesti mengalami yang namanya jatuh cinta? Arrrggghhhh!


Glenn Fredly tiba-tiba mengaum di dalam telingaku. Cinta datang tiba-tiba, cinta adalah anugerah yang kuasa. Cinta datang tiba-tiba, ketika kau menyapa….
Dia aku kenal ketika kami satu Gereja di GKI Maulana Yusuf. Kami beda pelayanan dan beda koskosan. Aku hanya mengenalnya. Sebatas kenal, ya hanya itu dan ngak lebih dari itu. Aku punya dunia sendiri dan dia juga. Tak ada perasaan apapun, baik dari aku atau dia. Kami sering ketemu pas setiap hari sabtu setiap ada PP"persekutuan pemuda" atau kebaktian pemudah soreh di hari minggu. Itu semua jadi bukti kalau dia hanyalah sebatas temanku. Wong aku juga jarang ngobrol sama dia waktu itu!

Aku baru ketemu dia ketika kami sudah sering ikut PP. Pertama ketemu dia ketika kebatian pemuda dan , manis ya! Ternyata temenku eksis di sini, ulangku kagum. Waktu ketemu dengan dia senang juga rasanya karena dia nggak lupa sama aku. Senyumnya dan sapaannya menguatkan aku. Wah, udah 1 tahun lebih di pelayanan. Tetep kuat ya! Aneh rasanya dengar kalimat itu dari dia pas salaman. Whateverlah! She support me as a good friend.

Biasa aja rasanya. Tapi kenapa deg-degan terus ya? Aku mencoba untuk bersikap netral. Tidak berpikiran aneh-aneh dan tetap biasa seperti tidak ada kejadian apa pun, kemarin, sekarang dan nanti.
Jangan lagi, kau sesali keputusanku. Ku tak ingin kau semakin kan terluka. Tak ingin kupaksakan cinta ini. Serasa ku telah mati untuk menyadarinya. Berakhirlah sudah semua kisah ini dan jangan kau tangisi lagi. Sekalipun aku takkan pernah mencoba kembali padamu. Sejuta kata, maaf terasa kan percuma. Serasa ku telah mati untuk menyadarinya. Sang cowok menyanyikan lagu "Frist Fime Ever I Saw Your Face". Teman-teman dengan begitu semangatnya “memanasi” aku. Oh my God! Kenapa mereka jadi salah sangka begini?

Jujur, dia memang cantik. Cantiknya seperti senandung lagu-lagu roman yang selalu mengiringi aku di mana berdoa di pagi hari. Aku tertarik sama dia. Tapi, itukah kerinduan hatiku yang paling dalam? Ah,aku bagaikan cebol merindukan bulan! Dia udah punya cowok. Masya oloh....:(
Mungkin karena senyumnya itu, juga karena teman-teman yang heboh berbincang tentang keindahan itu… aku jadi ikut terlarut di dalamnya. Beberapa kali aku jadi tidak fokus pelayananku, hidup rohani. Dan entah mengapa aku jadi senyam-senyum sendiri setiap malam. Aneh juga rasanya.

Ternyata, rasa dan atmosfer ini membuat aku jadi rajin doa, curhat sama Tuhan. Di dalamnya aku mendapat sebuah jawaban; bukan itu duniaku. Itu hanya pelampiasan emosi batin saja. Dan rasanya aku nggak tahu diri banget kalo aku berani masuk dalam dunianya. Aku juga nggak mau membiarkan panggilan ini terlantar begitu saja. Wong mau jadi Pendeta "masih berharap" kok masih bingung sama rasa kayak gitu. Ayo putar balik! batinku.

Aku biarkan cinta ini tetap menjadi cinta yang seperti ini; terpendam dalam sanubari dan biar aku saja yang menikmati. Mungkin apa yang aku rasakan ini seperti refren lagu milik Vierra yang berjudul Rasa Ini. "...Kusuka dirinya mungkin aku sayang, namun apakah mungkin kau menjadi milikku Kau pernah menjadi miliknya, namun salahkah aku bila kupendam rasa ini...." Pokoknya jangan sampai dia tahu. Aku nggak mau gara-gara rasa ini persahabatan ini jadi nggak kerasa lagi. Terserah apa kata orang kepadaku. Aku merasa bahwa pengalaman ini justru jadi pengalaman berharga buat panggilan dan hidupku. Dan rasanya nggak pantes banget buat aku kalau kayak gini. Biarkan bunga indah itu berkembang di kebun yang indah dan akan dipetik oleh pemetik yang tepat, dan itu bukan aku.

Pengalaman ini sudah mewarnai perjalanan panggilanku. Aku belajar banyak dari ini; aku belajar untuk ikut bahagia dan tertawa bersama mereka yang bahagia dan tertawa (bukannya menertawakan mereka), belajar untuk setia pada panggilan, aku tetap mau jadi Pendeta walau kehidupan in berat untuk kujalani dan sering mengalami kegagalan lalu tak di akui! dan belajar untuk menerima apa adanya dengan penuh syukur, tidak menginginkan rumput tetangga yang lebih hijau, toh dia juga mendukung aku di jalan ini. Dan, yang paling penting adalah aku belajar untuk benar-benar menjadi manusia bebas, mencintai lebih bebas, melepas cinta untuk mencinta dan tidak terikat siapa pun dan apa pun.

Tamat



Tidak ada komentar:

Posting Komentar