Selasa, 18 September 2012

Berbicara Tentang Kemacetan di Jakarta

Berbicara tentang kemacetan di Jakarta sebagai megapolitannya Republik Indonesia mungkin bukanlah merupakan hal yang baru di telinga kita bahkan saya sendiri tidak habis pikir sampai kapan orang akan terus membicarakan mengenai permasalahan khas yang satu ini. Jakarta yang merupakan magnit bagi banyak masyarakat untuk mengadu nasib dalam mencari nafkah atau rizki sudah merupakan alasan yang sangat kuat tingginya jumlah penduduk di kota yang disebut daerah khusus ibukota ini yang kemudian secara tidak langsung akan membuat Jakarta kian padat dan sesak. Oleh karena itu dalam tulisan kali ini saya hendak mencoba berbicara atau sekedar ebrpendpat tentang faktor faktor yang memiliki sumbangsih terhadap kemacetan di jakarta.

POPULASI DAN JUMLAH KENDARAAN
Tidak dapat dipungkiri, jumlah populasi merupakan faktor yang sangat signifikan dalam menentukan kepadatan penduduk dalam suatu wilayah. Oleh karena Jakarta dianggap oleh sebagian besar masyarakat merupakan kota yang memiliki siklus perekonomian yang tinggi dan memiliki imbalan janji atas penghasilan yang lebih apabila dibandingkan dengan daerah lain, maka banyak kemudian masyarakat yang berbondong-nondong datang dan menetap di Jakarta. Pola urbanisasi yang sangat tidak terkontrol dan pola pertumbuhan penduduk yang sulit dikendalikan menjadikan Jakarta kian hari kian sesak. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jakarta, pada tahun 2011 dengan luas Provinsi D.K.I Jakarta sebesar 661,52 km² jumlah penduduk di Jakarta mencapai angka 10.187.595 jiwa sumber: http://jakarta.bps.go.id/flip/jda2012/index.html
Dapat kita lihat fenomena pada saat angkutan-angkutan transportasi dari luar Jakarta datang ke Jakarta pasti akan memunculkan wajah-wajah baru yang dipastikan akan menjadi penduduk di Jakarta. Dengan jumlah populasi yang kian membesar maka otomatis faktor-faktor yang lain seperti perumahan, alat transportasi akan meningkat. Kalau digambarkan dalam bentuk garis maka hubungan antara populasi dan perumahan serta alat transportasi adalah berbanding lurus. Dengan peningkatan tersebut tentu saja kian banyak moda transportasi (pribadi) yang bermunculan di Jakarta.
Pada tahun 2010 saja jumlah kendaraan bermotor bedasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jakarta mecapai 11.997.519 yang terdiri dari 8.764.130 sepeda motor, 2.334.883 mobil penumpang, 565.727 mobil beban, dan bus sebesar 332.779.
Tentu saja dapat dibayangkan bagaimana dengan luas wilayah Jakarta yang tetap namun tingkat populasi bertambah kian banyak yang diikuti dengan peningkatan jumlah kendaraan.

PERTUMBUHAN JALAN RAYA
Sudah dapat dipastikan faktor pertumbuhan jalan raya merupakan faktor yang bersifat statis sebenarnya namun secara sistem berpengaruh terhadap kemacetan di Jakarta. Sudah tidak dapat dipungkiri dengan luas wilayah Jakarta yang statis tentu saja tidak mudah untuk melakukan penambahan lebar jalan atau ruas jalan. Karena tidak semua wilayah dapat dijadikan jalan raya mengingat jumlah populasi yang besar juga serta merta akan membutuhkan hunian yang akan menggunakan lahan di wilayah Jakarta. Bukan hunian saja, melainkan sarana umum (non jalan), bangunan pemerintahan, bangunan sentra bisnis dan industri akan berebut dalam pemanfaatan lahan. Sehingga secara tidak sengaja (atau sebetulnya disengaja) penyediaan ruas jalan atau lebar jalan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan. Tidak asing pula bahwa seringkali pengguna jalan raya harus menyerobot dengan cara naik trotoar, atau melawan arah (untuk menghindari kemacetan, padahal akan menimbulkan kemacetan baru)

TRANSPORTASI UMUM
Nah kalau berbicara tentang faktor yang satu ini mungkin tidak terlepas dari pengetahuan kita bagaimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jor jor an untuk menciptakan suatu moda transportasi umum yang dapat memecahkan solusi kecametan di Jakarta. Sudah tidak asing bukan mendengar istilah KRL, Busway, dan yang pernah ada Monorail dan Waterway (meskipun akhirnya mangkrak tidak jelas). Namun lagi-lagi meskipun transportasi umum tersebut memang dapat mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta namun sampai saat ini menurut saya hal itu belum cukup untuk kemudian dibandingkan dengan negara asal yang diadopsi oleh Pemerintah Ibukota. Masih terdapatnya KRL yang mogok atau terlambat, jalur busway yang tidak steril yang menyebabkan busway tidak dapat datang sesuai jadwal karena harus berdesak-desakan pula dengan kendaraan pribadi yang lainnya. Itu apabila kita berbicara dengan transportasi yang disediakan oleh pemerintah. Kalau kemudian kita menilik pada kondisi sarana trasportasi umum yang disediakan oleh pihak swasta mungkin kita juga akan lebih miris lagi. Banyak angkutan umum yang menyerobot jalur, ugal-ugalan, ngetem dan disisi kesehatan asap sisa pembakaran mereka saya rasa berada di bawah nilai standar yang ditetapkan. Pada dasarnya apabila transportasi umum tesebut dapat memenuhi kriteria aman dan nyaman (nyaman dalam hal ini sangat relatif) maka diharapkan masyarakat yang menggunakan transportasi pribadi berpindah ke transportasi umum.

POLA PIKIR MASYARAKAT
Berbicara tentang pola pikir tentu saja hal tersebut berhubungan dengan masing-masing individu. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan lalu lintas yang kemudian justru akan membahayakan terhadap diri sendiri dan pengguna jalan lain bahkan dampak panjangnya adalah akan menciptakan kemacetan lalu lintas. Hal tersebut dapat dilihat ketika banyak pengendara motor saling serobot jalur, melawan arah, tidak menaati rambu-rambu lalu lintas, dan masih banyak lagi. Sikap-sikap yang kemudian harusnya muncul dari kepribadian masing-masing pengguna jalan raya inilah yang kemudian sebenarnya harus digali agar masyarakat sadar dan peduli akan kondisi jalan raya di Ibukota sendiri. Selain itu, kepemilikan kendaraan bermotor yang berlebihan (meskipun sebenarnya hal tersebut tidak dilarang) juga menyebabkan jalanan Jakarta ini makin sesak. Coba saja bayangkan apabila dalam satu rumah tangga beranggotakan 5 orang dan kelima-limanya keluar rumah dengan menggunakan kelima mobil tersebut (satu mobil satu penumpang). Itu baru satu rumah tangga, bayangkan dengan jumlah penduduk di Jakarta apabila satu orang mengendarai satu kendaraan bermotor. Hal inilah yang kemudian mengilhami para birokrat untuk memunculkan kebijakan tentang 3in1 dan pajak progresif atas kepemilikan kendaraan bermotor.

PENEGAKAN HUKUM
Penegakan hukum sebenarnya dapat dijadikan kendali atas segala permasalahan yang ada di jalan raya. Sudah banyak aturan-aturan yang kita dengar merupakan metode yang digunakan oleh pemerintah untuk mengendalikan kemacetan di Jakarta. 3in1, sterilisasi jalur busway, pengenaan pajak progresif atas kepemilikan kendaraan bermotor, ERP (untuk yang ini saya belum mengetahui perkembangannya). Pada dasarnya peraturan-peraturan tersebut amatlah baik dalam upaya pengendalian kemacetan di Jakarta. Namun, sayangnya pengguna jalan memiliki cara tersendiri untuk menghindari atau mengakali peraturan tersebut. Sebutlah Joki, menggunakan nama orang lain untuk kendaraan yang dimiliki, serobot jalur busway. Sudah menjadi pemandangan umum di jalanan Ibukota terjadi praktek-praktek yang sebenarnya akan kembali memicu kemacetan di Jakarta. Petugas penegak hukum sebenarnya juga sudah melakukan penegakan terhadap peraturan tersebut, namun lagi-lagi karena lihainya para pengguna jalan membuat para aparatur penegak hukum tiada memiliki daya penuh dalam melakukan pengendalian, (dalam beberapa kasus memang justru terjadi aparatur negara yang melanggar peraturan-peraturan tersebut dengan menggunakan alasan yang birokratis). Sehingga dapat dikatakan bahwa penegakan hukum menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kemacetan di Ibukota ini.

SIKAP PEMERINTAH
Faktor yang satu ini saya temaptkan di bagian akhir bukan berarti faktor ini yang memiliki sumbangsih kecil terhadap kemacetan di Jakarta. Ketegasan pemerintah dalam melahirkan kebijakan sangat dibutuhkan sehingga dapat terwujud konsistensi dalam penerapannya. Seringkali dengan alasan finansial atau anggara kebijakan pemerintah dapat di liyukke dalam rangka penyesuaian dengan kondisi yang ada (istilahnya sih gitu "penyesuaian"). Selain itu aspek kepentingan juga sangat kencatl dalam proses melahirkan kebijaka-kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan publik. Coba bagaimana apabila anda sekalian dipertemukan antara kepentingan individu vs kepentingan umum. Pasti anda akan mengalami proses bimbang dan ragu (apalagi hal itu menyangkut makan keluarga atau uang saku). Hal itulah yang kemudian menimbulkan kepentingan individu atau golongan (dengan alih-alih memperoleh manfaat yang lebih tinggi) lebih diutamakan daripada kepentingan publik yang notabene tidak menciptakan manfaat secara ekonomi (dalam jangka pendek).

Faktor faktor tersebut yang menurut saya memiliki sumbangsih terhadap kemacetan di Ibukota ini. Tentu saja dengan melihat faktor-faktor tersebut saya mencoba berbicara/berpendapat terkait permasalahan pada faktor-faktor di atas. Pendapat saya antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pengendalian jumlah populasi (dengan mengintensifkan program keluarga berencana yang dulu sempat menjadi program utama pemerintah pada masa orde baru)

2. Pengendalian terhadap jumlah urbanisasi (meski sekarang pemerintah juga sudah jor-jor an dalam melakukan pengendalian ini, namun saya rasa pemerintah harus lebih maksimal dalam melakukan pengendalian terhadap kaum urban)

3. Memisahkan antara sentra bisnis dengan sentra pemerintahan (hal ini sudah pernah mengemuka tapi entahlah bagaimana proses selanjutnya)

4. Pembuatan jalan layang (apabila dimungkinkan dapat dibuat lima tingkat, karena saya bukan ahli teknik sipil maka saya tidak tahu apakah hal ini bisa diterapkan di Jakarta)

5. Menaikkan nilai pajak untuk kendaraan pribadi dan tarif parkir (meskipun dalam jangka pendek saya tahu hal ini akan menimbulkan inflasi yang mungkin sangat berdampak terhadap perekonomian, tapi dalam jangka panjang saya rasa hal tersebut dapat berdampak positif).

6. Meningkatkan pelayanan transportasi umum (dengan pengenaan pajak yang tinggi terhadap kendaraan pribadi dan biaya parkir yang tinggi, hasil dari pungutan tersebut dapat digunakan untuk penataan transportasi umum).

7. Pembatasan jumlah produksi kendaraan bermotor (nah disinilah pemerintah sangat berperan dalam nenentukan kebijakan. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya bahwa kebijakan kebijakan pemerintah harus memihak terhadap kepentingan umum bukanlah manfaat ekonomi jangka pendek. Memang benar dengan pembatasan jumlah produksi kendaraan bermotor akan menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian di Jakarta, bahkan di Indonesia. Investor akan hengkang dari Indonesia, penurunan PAD bahkan penerimaan negara, kenaikan harga yang akan menyebabkan inflasi. Tapi coba dipikir, apabila jumlah produksi tidak dikontrol dan pertumbuhan jumlah kendaraan menjadi sangat liar. Kemacetan bertambah parah dan akan terjadi stagnanisasi proses ekonomi (yang meliputi produksi, dan distribusi barang ekonomi) yang mengakibatkan adanya ekonomi biaya tinggi. Dengan adanya ekonomi biaya tinggi tersebut, tentu saja investor juga akan mempertimbangkan kembali untuk melakukan investasi di Indonesia bukan?

Nah mungkin itulah pembicaraan atau pendapat saya tentang kemacetan di Jakarta. Saya memang bukan siapa-siapa tapi saya hanya ingin Jakarta ini bebas kemacetan dan masyarakatnya semakin memiliki kepedulian terhadap kota yang diberikan gelar kota Megapolitan bahkan kota modern. Tidak lucu bukan apabila banyak mobil sport di kota modern hanya dapat melaju dengan kecepatan di bawah 20 km/jam. Atau di kota modern namun kita harus menempuh jarak 2km dalam waktu 2 jam bahkan lebih. Kota modern macam apa itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar