Selasa, 05 Agustus 2014

BLUE IS THE WARMEST COLOR (2013)



Diadaptasi dari novel grafis berjudul sama karangan Julie Maroh, Blue is the Warmest Color adalah film yang tidak hanya berhasil meraih Palme d'Or pada ajang Cannes Film Festival tahun lalu namun juga berhasil mengguncang dengan kontroversi yang muncul karena konten seksualnya yang sangat vulgar. Selain karena kemenangannya di Cannes film ini memang banyak dibicarakan karena adegan seks lesbian yang dilakoni oleh dua aktrisnya dimana adegan tersebut disajikan dengan vulgar dan berlangsung selama lebih dari tujuh menit. Beberapa cerita miring tentang perlakuan tidak mengenakkan sutradara Abdellatif Kechiche kepada para kru dan pemainnya juga turut mengiringi perilisan film ini. Namun diluar segala kontroversi tersebut, Blue is the Warmest Color memang sebuah film yang begitu kuat dalam bertutur selama durasinya yang mendekati tiga jam. Menggabungkan kisah coming-of-age tentang pencarian jati diri dengan kisah romansa erotis sesama jenis, film ini membuktikan bahwa segala momen vulgar dan ketelanjangan yang hadir bukan sekedar cari sensasi belaka namun merupakan sebuah aspek substansial yang tidak bisa dipisahkan sebagai salah satu pondasi emosi filmnya. Jika dalam novel grafisnya ada sosok Clementine, maka versi filmnya memiliki Adele (Adele Exarchopoulos), seorang remaja SMA berusia 17 tahun.
Bersama teman-temannya Adele sering bergosip tentang para pria di lingkungan sekolah mereka. Adele sendiri tengah memulai sebuah hubungan dengan Thomas (Jérémie Laheurte), namun anehnya Adele tidak merasakan adanya gejolak seperti cinta dan hasrat dalam hubungan tersebut. Suatu hari ia dan sahabatnya yang gay, Valentin (Sandor Funtek) pergi ke sebuah gay bar. Disanalah Adele bertemu dengan Emma (Lea Seydoux), seorang gadis tomboy berambut biru yang dulu pernah berpapasan dengannya di jalan. Keduanya pun mulai saling mengobrol dan rutin bertemu sekedar untuk menghabiskan waktu bersama mengobrol di taman. Perlahan keduanya pun mulai berpacaran dan tinggal bersama. Hari-hari mereka diisi dengan kebahagiaan dan hasrat memuncak yang selalu tersalurkan lewat hubungan seks yang penuh gairah. Namun memasuki paruh kedua dalam kisah kehidupan Adele semuanya perlahan mulai berubah dimana segala kebahagiaan dan cinta mereka mulai mendapat cobaan. Termasuk dilema yang terjadi berkaitan dengan pencarian jati diri dan orientasi seksual dari Adele.

Jika dalam novel grafisnya warna biru terasa mencolok karena selain rambut Emma gambar lainnya diberi warna hitam putih. Dalam versi filmnya, sutradara Abdellatif Kechiche melakukan hal yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh Krzysztof Kieślowski dalam trilogi tiga warna miliknya, yakni sebanyak dan sedetail mungkin memasukkan sebuah warna dalam hal ini biru pada tiap-tiap set dan properti dalam film. Mulai dari hal besar yang nampak jelas seperti layar LCD, kostum pemain, air laut bahkan sampai hal-hal terkecil seperti ornamen yang terdapat pada piring dan gelas didominasi oleh warna biru. Tentunya yang paling mencolok adalah warna biru dari rambut Emma. Tapi ini bukan hanya style tanpa substansi, karena tanpa sadar dengan mendominasinya warna biru penonton pun dibuat selalu teringat pada sosok Emma dan secara tidak sadar pula mulai terikat dan tertarik pada sosoknya. Bagaikan sebuah subliminal message film ini mampu membuat bawah sadar penontonnya terikat dengan sosok Emma si gadis berambut biru. Kita sebagai penonton seolah diajak merasakan adiksi dan ketertarikan yang sama seperti yang dirasakan oleh Adele terhadap Emma. Karena itu pada paruh kedua disaat Adele tidak lagi berambut biru, kita juga merasakan rasa kehilangan yang sama seperti Adele. Kita merasa bahwa Emma sudah berubah dan kita pun rindu akan sosoknya yang lama. Inilah kenapa filmnya berjudul Blue is the Warmest Color karena selama menonton kita akan mengasosiasikan warna biru dengan segala kehangatan, romantisme dan kebahagiaan.
 
Durasinya mendekati tiga jam. Alurnya berjalan dengan tempo medium namun beberapa kali muncul adegan berulang. Pergerakan dari satu momen ke momen lain pun memakan waktu yang tidak sebentar. Berbagai hal tersebut memang berpotensi membuat filmnya terasa melelahkan. Tapi semua itu dilakukan dengan tujuan untuk menghadirkan segala aspek dalam kehidupan Adele dengan sejelas dan sedetail mungkin. Paruh pertamanya bertutur tentang Adele yang tengah kebingungan mencari jati diri berkaitan dengan orintasi seksual miliknya. Kita diperlihatkan bahwa Adele benar-benar melakukan pencarian dan bukan hanya dirundung kebingungan belaka. Dia mencoba berhubungan dengan pria tapi pada akhirnya segala hasrat yang ia cari lebih bisa terpuaskan dengan wanita. Kemudian bagaikan takdir akan jodoh kita diperlihatkan bahwa Adele secara tidak sadar melakukan pencarian terhadap Emma dan mereka pun akhirnya dipertemukan. Paruh keduanya pun berjalan dengan serupa, bagaimana hubungan Emma dan Adele mulai bermasalah dan perlahan tergerus semuanya dihadirkan setahap demi setahap dimana tiap tahap dipaparkan dengan begitu mendetail hingga penonton bisa benar-benar memahami isi hati dan pikiran karakternya. Film ini tidak pernah terburu-buru berjalan, bahkan obrolan pertama Adele dan Emma baru terjadi saat filmnya sudah berjalan lebih dari 40 menit.
Kemudian kita sampai pada adegan seksnya yang kontroversial itu. Berjalan lebih dari tujuh menit (kabarnya versi yang diputar di Cannes berjalan lebih dari 10 menit), adegan tersebut benar-benar disajikan dengan vulgar, gamblang dan begitu liar. Adegan seksual yang terasa begitu nyata bahkan disaat saya sudah tahu bahwa kedua aktrisnya memakai vagina buatan yang ditempelkan diatas yang asli saya tetap "terbuai" akan begitu nyatanya adegan tersebut. Tanpa ada iringan musik sedikitpun, hanya erangan dan rintihan dua aktrisnya yang menemani tujuh menit penuh gairah ini dan itu membuat adegannya terasa begitu jujur. Segala hasrat, gairah dan cinta yang ada pada kedua karakternya terpancar begitu kuat dari seks yang terjadi. Tentu saja totalitas serta chemistry yang terjalin antara Adele Exarchopoulos dan Lea Seydoux turut berperan besar pada keberhasilan itu. Namun apakah adegan seks yang panjang dan vulgar ini hanya sekedar penambah bumbu erotisme? Tentu saja tidak, karena berkat momen inilah saya dibuat merasakan bagaiaman besarnya hasrat dan rasa cinta yang terjalin diantara Adele dan Emma. Pada akhirnya adegan seks tersebut tidak hanya menjadi sekedar tempelan dan pemanis belaka seperti yang banyak terjadi dalam film-film mainstream kebanyakan dimana pemain yang berhubungan seks pun nampak tidak menikmati adegan seksnya.
Blue is the Warmest Color tidak hanya sebuah film LGBT saja karena secara keseluruhan kontennya bisa terasa universal. Ini adalah kisah coming-of-age tentang pencarian jati diri, kisah cinta berbalut seksual yang tentu saja dibumbui kecemburuan sebagai konfliknya. Krisis identitas yang dialami Adele terasa begitu kuat mengiringi film ini, bahkan hingga filmnya berakhir pun konflik tentang krisis identitas tersebut masih terus menghantuinya. Namun jika bicara tentang LGBT, film ini juga memperlihatkan bahwa tidak semua LGBT berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Lihatlah Adele dan Emma yang berasal dari keluarga hangat, ramah dan penuh tawa. Bahkan kedua orang tua Emma menegtahui bahwa sang puteri adalah lesbian dan tidak mempermasalahkan itu. Karena pada akhirnya mereka tahu bahwa Emma menjalani hidupnya sebagai lesbian dengan tetap berlandaskan rasa cinta. Blue is the Warmest Color adalah film yang begitu kuat baik dari cerita maupun dari sisi akting dan chemistry dua aktrisnya. Lihat bagaimana keduanya terasa ebgitu jatuh cinta saat obrolan diawal hubungan mereka,lihat bagaimana adegan seks yang penuh gairah itu, lihat juga bagaimana momen putus yang berisikan pertengkaran yang mengaduk-aduk emosi itu. Bukan hal mudah membuat adegan seks lesbian yang penuh gairah dan erotisme menjadi sebuah adegan penuh kedalaman emosional, dan Blue is the Warmest Color berhasil melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar