Kamis, 14 Januari 2016

Mendaki Gunung Agung, Menggapai Titik Tertinggi Menara Suci Bali


Sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia, Bali menyimpan begitu banyak objek wisata alam menarik. Termasuk wisata minat khusus seperti pendakian gunung. Mendaki gunung Agung yang merupakan gunung api tertinggi di Pulau Bali tentu merupakan agenda wisata petualangan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Melihat keindahan panorama pulau dewata dari titik tertingginya benar-benar akan membuat siapapun yang melihatnya akan semakin berdecak kagum. Termasuk melihat dari dekat lubang kawah yang berdiameter sekitar 500 meter. Keindahan alam inilah yang menarik siapapun untuk mendaki puncak Gunung Agung.

Gunung Agung sendiri merupakan gunung yang sangat disucikan masyarakat Hindu Bali. Mereka percaya disinilah tempat bersemayamnya dewa-dewa. Masyrakat juga percaya jika di Gunung Agung juga terdapat istana Dewata.

Suasana langit yang cerah bertabur bintang di atas pantai Kuta, Bali, 2 Februari 2011, menguatkan tekad saya, Dyah dan Tuti untuk menggapai titik tertinggi Pulau Dewata. Kebetulan kami masih membawa lengkap perlengkapan pendakian usai mendaki Gunung Sumbing, Temanggung, dua hari sebelumnya.

Setelah bermalam di kost-an teman, Lila, sekitar pukul tujuh pagi, dengan mobil sewaan kami menuju Sekretariat Mapala Wanaprasta Dharma, Universitas Udayana, menjemput Ollo untuk turut serta mendaki. Dalam perjalanan, kami berhenti sesaat di pasar swalayan untuk belanja logistik keperluan pendakian.

Ada beberapa jalur pendakian yang umum digunakan untuk dapat mencapai bibir kawah Gunung Agung. Dari  sisi selatan melalui Pura Pasar Agung. Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem. Untuk sisi tenggara melalui Budakeling lewat nangka. Jalur lainnya yaitu melalui sisi barat daya lewat Pura Besakih. Jalur terakhir inilah yang paling populer dikalangan para pendaki. Karena untuk menggapai puncak tertingginya hanya bisa dilalui melalui komplek pura terbesar di Bali ini.

Sesuai rencana, kami akan mendaki Gunung Agung melalui jalur Pura Besakih di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi panorama alam Bali yang sangat indah. Hijaunya persawahan serta beberapa Pura berukuran besar dan kecil menjadi pemandangan yang tidak biasa kami lihat.

Sayang saat itu cuaca tidak benar-benar bersih. Padahal, jika cuaca cerah kami akan dengan mudah melihat keindahan kerucut raksasa Gunung Agung dengan puncaknya yang gundul dan nampak teratur. Karena keindahan menara suci di Bali ini akan menyambut siapa saja yang berkunjung ke wilayah Karangasem. Peak van Bali, demikian sebutan lain untuk gunung api tertinggi di Bali ini.

Sekitar pukul 13.00 WITA, kami tiba di lapangan parkir komplek Pura Besakih. Langit saat itu nampak mendung. Pertanda akan segera turun hujan. Kami pun bergegas menuju Pos Polisi Besakih yang letaknya persis di sebelah Pura Besakih, untuk melaporkan rencana pendakian. Di pos polisi tersebut juga kami menunggu seorang pemandu lokal yang akan menemani selama pendakian nanti. Sebagai informasi, semenjak kecelakaan terakhir yang menewaskan 3 orang pendaki tahun 2008 silam, sejak tahun 2009 setiap kegiatan pendakian gunung agung diwajibkan menggunakan pemandu lokal. Hal tersebut sesuai kesepakatan masyarakat adat setempat untuk meminimalisir kejadian serupa serta menjaga kesucian dari Gunung Agung. Perlu diketahui, jika ada musibah seperti orang hilang atau tewas, biasanya akan diadakan ritual untuk menyucikan kembali Gunung Agung dengan biaya cukup besar.

Pukul 15.30 WITA, Pak Kayun, koordinator organisasi pemandu lokal – Betalgo (Besakih Tourism And Lokal Guide Organization) – yang kami tunggu tiba. Sebelum melakukan pendakian, beliau menyarankan kepada kami untuk melalui jalur Dusun Junggul, yang baru diresmikan 26 Desember 2010 lalu. Menurut beliau jalur ini tidak akan melewati pura, sebagaimana halnya jalur Besakih yang lama. Dusun  Junggul sendiri berada sekitar di sisi kanan atas komplek Pura Besakih dengan ketinggian sekitar 1200 meter. “nanti jalur ini akan bertemu dengan jalur lama di atas camp Kori Agung – para pendaki lebih mengenalnya dengan sebutan Boike – lebih cepat dari jalur lama”, kata Pak Kayun.

Mendapat informasi demikian, kami memutuskan untuk melalui jalur Dusun Junggul. Salah satu alasannya adalah untuk dapat mengupdate data terbaru mengenai jalur pendakian Gunung Agung. Kami juga dikenakan biaya sebesar Rp. 350.000,- untuk satu orang pemandu. Bli Nyoman, demikian panggilan nama pemandu yang akan menemani kami. Karena disepanjang jalur pendakian nanti tidak ditemukan sumber air, tidak lupa kami mencukupi kebutuhan air dari bawah.

Setelah memarkir kendaraan di halaman rumah pak Kayun di Dusun Junggul, sekitar pukul 16.30 WITA, perjalanan kami mulai. Pada awal pendakian ini kami lebih dulu berjalan melalui jalan aspal menuju sebuah kolam besar penampungan air. Di tempat ini kami bertemu beberapa pemuda tanggung yang sedang berkumpul dan bermain-main. Adanya halaman parkir dengan konblok yang cukup luas membuat lokasi ini nyaman sebagai tempat berkumpul. Belum lagi panorama yang ditawarkan dari tempat yang terletak pada ketinggian hampir 1300 meter ini cukup indah. Sebenarnya jika cuaca cerah, kita dapat secara jelas melihat sosok Gunung Agung dari sini. Sayang saat itu kami hanya dapat sebentar melihatnya. Itupun hanya sebagian puncaknya saja.

Sore itu kabut masih setia menyelimuti lereng Gunung Agung.  Setelah menyusuri sisi kolam, kemudian kami memasuki jalan setapak yang menanjak disisi saluran air. Sekitar setengah jam pertama jalur pendakian masih sedikit landai dengan vegetasi semak dan hutan. Berikutnya jalur pendakian semakin menanjak melalui punggungan dengan jurang disisi kiri dan kanannya.

Hari sudah mulai gelap saat kami memasuki kawasan hutan. Hampir tidak pernah kam menemui jalur yang landai. Bahkan cenderung semakin terjal dengan rata-rata kemiringan lebih dari 55 derajat. Namun demikian jalur ini sungguh menarik dan penuh tantangan. Hutannya masih cukup terjaga dengan baik. Layak dijadikan jalur alternatif utama pendakian gunung Agung malalui besakih. Seperti halnya jalur lama, pada jalur ini juga cukup banyak ditemui hewan kecil pacet. Saat itu, kaki dan tangan kami pun beberapa kali harus rela ditempel oleh hewan yang sebenarnya tidak berbahaya ini. Yang harus diingat lindungi organ-organ vital kita dari hewan ini.

Setelah berjalan sekitar 3 jam, kami tiba lokasi dataran pertama yang menurut kami bisa dijadikan areal camp. Tidak terlalu luas, namun cukup menampung 1 atau 2 tenda ukuran 2-3 orang. Tempat ini berada pada ketinggian sekitar 1935 meter. Saat kami tiba di lokasi ini, waktu hampir menunjukkan pukul 20.10 WITA. Sesaat kami beristirahat sambil mencatat koordinat tempat ini.
Perjalanan kemudian kami lanjutkan kembali. Medan pendakian semakin bertambah terjal. Pada beberapa lokasi, Komunitas Pemandu Gunung Agung Besakih, Betalgo telah memasang papan petunjuk ketinggian. Pada tempat-tempat tersebut kami kembali mengukur ketinggian untuk kroscek data.

Waktu terus berjalan dan hari semakin gelap. Sebelum tengah malam kami harus mendapatkan lokasi untuk mendirikan tenda sebagai tempat bermalam. Mendekati batas vegetasi jalur pendakian kemiringannya hampir mencapai 70 derajat. Trekknya yang berbatu serta sedikit berlumut menuntut kehati-hatian kami. Dengan merayap kami berjalan melalui jalur berbatu tersebut. Beberapa saat kemudian tiba di batas vegetasi. Lalu kami mencari lokasi areal camp.

Di lokasi yang berada pada ketinggian sekitar 2.680 meter ini memang tidak luas dan sedikti sulit mencari tempat untuk mendirikan tenda. Namun ada satu atau dua tempat yang cukup untuk menampung 1 tenda berukuran 2-4 orang. Tempat ini sendiri sudah berada di atas Kori Agung atau Boike apabila melalui jalur lama. Saat itu waktu telah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Usai menyantap perbekalan makan, kami segera beristirahat untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak pagi harinya.



Summit Attack
Pagi harinya sekitar pukul 07.00 WITA, mentari pagi bersinar cukup cerah. Panorama dari camp kami terlihat sungguh indah. Tempat yang terbuka membuat kami dapat dengan lepas melihat sekelilingnya. Nampak oleh kami Gunung Batur dengan danaunya serta Gunung Abang berbalut sedikit awan. Disisi lain terlihat hijaunya lembah-lembah serta laut dengan batas pantainya. Jauh di bawah nampak desa-desa yang berada disekitar kaki Gunung Agung. Sungguh benar-benar pemandangan yang indah. Sedang belakang kami dinding terjal batuan bercampur kerikil jalur pendakian menju puncak Gunung Agung.

Usai sarapan, saya, Dyah, Tuti dan Bli Nyoman melanjutkan pendakian menuju puncak. Sedangkan Ollo tinggal di camp tinggal di tenda. Berbekal makanan kecil, buah-buahan dan air, kami perlahan terus mendaki melalui medan pendakian berbatu. Sesekali kami beristirahat sambil menikmati keindahan panorama alam pulau dewata yang tersajikan.

Sekitar pukul 09.00 WITA, kami tiba di puncak pertama. Dari sini pemandangan terlihat semakin indah dan menakjubkan. Sedang dihadapan kami jalur pendakian yang harus kami lalui hanyalah berupa punggungan tipis dengan jurang di kiri dan kanannya. Dikejauhan terlihat puncak tertingginya. Berjalanan diatas punggungan tipis menuju puncak Gunung Agung menuntut kehati-hatian yang tinggi. Selama pendakian kita harus bisa memperhatikan cuaca dan angin yang terkadang bertiup cukup kencang. Juga kabut yang datang silih berganti.

Tidak sampai setengah jam kami tiba di puncak kedua. Dari sini puncak tertinggi menara suci di Bali ini tampak terlihat jelas. Trek pendakian nampak terlihat tipis dengan jurang disisi kiri dan kanannya. Medan pendakian tersebut terlihat mengagumkan dan meningkatkan adrenalin bagi siapa saja yang melihatnya. Dikejauhan terlihat sebuah longsongan disisi kanan jalur yang terlihat masih baru.

Mba Tuti memilih tinggal dan menunggu di puncak dua sementara saya, Dyah dan Bli Nyoman menuju puncak tertinggi. Sesaat kabut menghalangi pemandangan kami. Benar-benar perjalanan yang menguji adrenalin.
Saat melalui jalan setapak yang longsor disisi kanannya, kami berjalan turun sedikit kekiri melalui jalan setapak yang tipis berukuran satu tapak kaki. Walaupun jaraknya tidak sampai 10 meter, namun perlu kehati-hatian yang sangat tinggi. Meleset sedikit jurang disisi kiri jalur siap menelan para pendaki. Kemudian kami kembali melalui punggungan tipis yang sedikit landai hingga tiba di puncak tertinggi tepat pukul 09.50 WITA. Begitu tiba, pemandu kami berdoa dan menaruh sesajian pada salah satu sudut di puncak.

Puncak Gunung Agung hanya berukuran sekitar 2 x 1 meter. Nampak di depan kami kawah Gunung Agung dengan dinding kawahnya yang berwarna kekuningan. Dinding kawah terlihat berwarna kuning keemasan.

Berdiri di puncak dan melihat kawah gunung Agung, saya coba membayangkan apa yang terjadi pada tahun 1963 silam. Dimana saat itu gunung ini mengalami letusan dahsyat terakhirnya. Asap letusan bahkan membumbung tinggi hingga mencapai lebih dari 10.000 meter di atas puncak. Menelan hingga 1000 lebih korban jiwa. Besarnya dampak letusan hingga membuat kehidupan normal di Bali baru kembali diawal tahun 1970. Namun, lepas dari cerita itu semua panorama dari puncak tertinggi menara suci di Bali ini benar-benar akan membuat siapapun berdecak kagum. Lereng berbatu, lembah menghijau, laut, pesisir pantai dan desa-desa disekitar kaki gunung terlihat menakjubkan. Bahkan dikejauhan diantara awan Pulau Nusa Penida. Sayang, Gunung Rinjani yang berada di Pulau Lombok tidak dapat kami lihat karena tertutup oleh awan. Saat itu kami seperti berdiri di atas awan.

“Lihatlah ini mount Agung, Bali, Indonesia. One of the spektakuler mountain of Indonesia” pekik Dyah begitu tiba di puncak. Sebagai seorang yang mengerti geologi dan batuan, Dyah begitu senang sekaligus kagum bisa melihat dan berdiri langsung di puncak Gunung Agung.

Berdasar data GPS, ternyata puncak tertinggi Gunung Agung kini mempunyai tinggi ± 3.044 meter. Letusan dahsyat tahun 1963 telah mengurangi tinggi gunung ini yang semula 3.142 meter. Beberapa data lain yang pernah saya baca menunjukkan ketinggian 3.031 m dan 3.048 m.

Karena hari semakin siang, kami kemudian segera turun kembali menuju camp terakhir. Walaupun saat itu waktu masih menunjukkan pukul dua belas siang, namun cuaca nampak sudah mendung. Usai makan siang, kami segera paking perlengkapan lalu turun menuju basecamp pendakian di Dusun Junggul.

Menjelang magrib tiba-tiba turun hujan badai. Walaupun berada di dalam hutan, namun  sangat besarnya hujan membuat kami seperti dihujani titik-titik air sebesar jari-jari. Jalan setapak yang terjalpun menjadi sepeti sungai kecil. Hal yang demikian membuat perjalanan turun kami menjadi lebih lama. Beberapa kali kami harus terpeleset akibat licinya jalur.

Berjalan diantara hujan badai dan gelapnya malam menuntut kami berjalan ekstra hati-hati. Untuk menjaga hal yang tidak diinginkan, terkadang kami berjalan sambil berpegangan tangan. Menjelang tengah malam hujan reda. Setelah berjalan hampir 12 jam serta menahan lelah dan kantuk yang teramat sangat akhirnya kami tiba kembali di kediaman pak Kayun. Saat itu waktu telah menunjukkan lewat tengah malam. Setelah ganti pakaian, kami pamit dengan pak Kayun untuk kembali menuju Denpasar.

Inilah salah satu pengalaman pendakian kami yang luar biasa. Berjalan menerjang hujan badai di tengah hutan dengan jalur yang terjal dan licin begitu menguji mental kami. Gunung Agung telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang berharga untuk kami.

Satu yang pasti mendaki gunung Agung, menggapai puncak tertinggi menara suci Pulau Dewata ini merupakian satu hal yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, jika anda berkunjung ke Bali. Salah satu gunung api yang Spektakuler di Indonesia.

Februari 2011
Harley B. Sastha,
FB: Harley B. Sastha dan Harley B. Sastha Dua

Tulisan ini di muat juga di Garuda Magazine Edisi Agustus 2011 dengan judul "The Holy Roof Of Bali"





The Holy Roof Of Bali - Garuda Magazine, Agustus 2011 
The Holy Roof Of Bali - Garuda Magazine, Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar